Minggu, 10 Februari 2019

Anak Kecil dalam Tubuh yang Besar

Aku merawat anak kecil dalam tubuh besarku.

Ku suapi ia dengan permainan yang ia senangi.

Berjingkatan dalam jantungku.
Berlarian dalam labirin otakku.
Memekik di gendang telingaku.


Aku merawat anak kecil dalam tubuh besarku.

Anak kecil yang suka menyentuh segala hal yang ia sukai.

Api yang menjadikannya terbakar.
Hujan yang menjadikannya basah.
Terik yang menjadikannya hitam.


Aku merawat anak kecil dalam tubuh besarku.

Lalu ia semakin besar, dalam tubuh kecilku.

Lalu,
menjelma ia menjadi benalu,
dan tubuhku,
inangnya tuk bermain dengan rasa.

Lalu,
menjelma ia menjadi hantu,
dan tubuhku,
pemakamannya tuk mayat-mayat asa.

Sabtu, 19 Mei 2018

Tuhan mengutukku mati hari itu.

Kini yang tersisa hanya tubuh kosong dengan gemuruh akal di dalamnya.
Hati sudah mengubur diri terlebih dahulu,
di pemakaman tak bernisan agar tak seorang pun bisa menjenguk,
bahkan kepada pemiliknya.



Dan aku menua di dalamnya,
tubuh kosong tak bernama.


Selasa, 30 Januari 2018

nyala

nyala,
api,
lilin yang saling membakar diri,
musik mengalun dengan amarah,
kamu,
dan pekat aroma bunga sedap malam.

langit semakin petang,
menyamun amis luka dan iris tubuhmu yang perlahan terbakar hangus,
harum merekah wangi abumu yang ku tuai pada sepertiga lamunku,
pada ketersengalan nafasmu yang susul menyusul meronta tuk hidup,
aku menggambar kelopak matamu hitam pekat menuju layu.

rekah lah kamu,
dalam barisan sajak sajakku yang mati bunuh diri,
sementara alun musik semakin serakah,
tiada kamu,
ku cari di antara pacuan arah.


ditulis saat menyaksikan Gardika Gigih.
Malang, 22 Desember 2017.

Minggu, 10 Desember 2017

tidur

Tidur lah,
Sebelum sesak membunuh kita telak.

Rebahkan berat bebanmu,
 agar tak limbung kita dikoyak angin.
Berpeganglah pada genggamku,
 agar tak terpisah kita pada mimpi.
Lelap kan resahmu,
 agar tak menusuk ia saat kita saling memeluk.
Pejam kan matamu,
 agar tak bisa ku baca tanda tanda yang tak menyuara pada kata.
Lambat kan deru nafasmu,
 agar tak terdengar bisik bisik gusar pada debar.

Menari lah pada kesah.
Bercumbu lah pada resah.
Agar esok bayi hari tak lahir prematur,
agar langkah berlari teratur,
dan hati tetap membaur. 
Tidur lah.

Senin, 18 September 2017

Memaknai ketakutan,
pada belantara akal yang membadai besar pada tubuh tak bertuan.

Memaknai kegelisahan,
pada sempit labirin pikir hingga menyesak menahan agar tidak terkoyak.

Memaknai kecemasan,
pada keruh hati yang bingung mencari jawaban dalam palung tak berdasar.

Keruh.
Rapuh.
Bergemuruh.

Mengambang pada ketiadaan.

Mencari arah dalam diri yang berserah resah.

Rabu, 08 Februari 2017

melihat laut tanpa tahu dalamnya

barangkali semua tak sesuai ingin,
dan kesempurnaan ialah angan kekanakan,
pada dunia yang terlalu tua untuk selalu menurut.


seperti keramas di pagi hari, tapi terlalu terburu untuk mengeringkan rambut,
sehingga tidak rapi mereka seharian,
seperti membuat roti kesukaan, tapi kaleng selai tak cukup mengoles seluruh lembar roti,
sehingga tak setangkup ia bisa utuh terasa,
seperti menyetrika baju untuk acara bersama tersayang, tapi terburu dan padam lampu siang itu, sehingga kusut beberapa bagian yang belum tergosok.

terkadang sesederhana itu, ketidak rapian, ketidak utuhan, kekusutan, menyeruak dalam skema rencana yang tersusun sempurna awalnya.
tenggelam dalam ketergesaan, dan kejutan kehidupan.


seperti kita yang melukis betapa cerahnya siang hari itu, betapa sejuknya sore esok hari, betapa kelamnya malam lusa hari.
tapi hujan turun perlahan hari ini, mendung menahan angin esok hari, dan bulan terlalu terang menerangkan kegelisahan kita esok lusa.

tapi tiada yang salah dan bercela,
pada kini, esok dan lusa, hingga kemarau musim depan.

meski telak kita terkecoh pada rencana, dan wacana.
disapih kita perlahan pada ketidak sempurnaan kehidupan.
terlatih kita meski terjatuh,
tertatih kita meski terantuk berkali,
merapal kita pada kemungkinan pahit untuk tetap tertelan manis,
selama ketidak sempurnaan yang merapuhkan justru menguatkan,
selama erat mematikan justru semakin hidup menjerat;
pada keyakinan bahwa sempurna, kita sendiri yang tahu celanya,
dan kita amini berdua jatuh bangunnya,
akan selalu ada kesempurnaan yang tersimpan pada ketidak sempurnaan,
dan menjadi langit yang menaungi keyakinan kita.

Minggu, 12 Juni 2016

Hilang

Pada rimbun ilalang panjang kamu hilang menuju persembunyian,
tak kau biarkan jejak tergambar tuk diburu aku.
Segala peluh yang kau teguk sendiri agar tak bisa dibagi keluh kesahnya,
sementara sketsa rasamu belum sempurna tuk dipajang pada tembok rumah kita,
dan kamu terburu berkemas demi mengganjal resah dengan sepotong roti yang kita simpan tuk besok malam.

Pada dingin yang tak tercatat dalam suhu tubuh kita,
percakapan tergeletak pasrah menunggu teraih pacu larimu menuju ke entahan tuju.
Dan kita ibarat musafir menolak kepulangan,
memilih tersesat dalam gumuk pasir tanpa tujuan,
lalu pemberhentian hanya untuk saling menyuapi kecewa yang membusung kelaparan.

Pada kepasrahan, bahkan sebelum bait pertama rampung dituliskan,
dan kata kata yang saling berbagi hening dalam cerita masing masing,
sungai tak berarus dan laut tak bermuara,
dan kita hanyut menuju kesedihan tak terbagi adil.

Pada rimbun ilalang,
pada setiap jengkal pelarian,
pada persembunyian,
pada dingin yang hening,
pada kepasrahan yang renta;
kita dua yang terbengkalai atas rasa,
merangkum kehilangan-kehilangan,
yang menolak dirasakan.