Sabtu, 30 April 2011

menertibkan resah, kesah

dalam kesoktahuan cangkir ini,
biar aku mendalang,
bahwa kita sedang menata peran,
disuatu sudut kota dan aku yang meremang kedinginan,
dan di pinggir jalanan ramai dengan kamu dan lampu kota terang,
tidak akan jadi beban,
perselisihan,

kecuali bila kami sesama penerang persimpangan

Kamis, 21 April 2011

kambing kloningan

sajak sajak mati.
bunuh diri.
buat apa masih tegak berdiri?
dengan otak terbelah,
habis,
dikloning.
buat apa masih bersuara?
kalau isi cangkir sama,
dendangan serupa.
buat apa masih berebut satu layar sama?
kalau memang celupan kami persis,
hanya membuat waktumu menipis.
sajak habis.
menerima nyata serupa sambil meringis.
terkikis.

Rabu, 20 April 2011

anggap saja untukmu

kehabisan gelisah.

mungkin waktu sudah meminumnya habis habisan,
atau badan dan otak saya yang sudah kembali menyesuaikan,
ah,
pembual,
apa yang harus saya sesuaikan?
bukankah ini adalah saya dalam bulan bulan belakangan?
bukankah kamu itu penyesuaian,
dan ini adalah cangkir hidup saya,
yang sudah lama tertimbun kerak kerak sisa kafein disudut sudutnya,
yang tercetak mulut kecil di bibir tuanya.
tidak ada yang berubah, mengubah,
hati hati keramik itu masih tersusun rapi di lemari kacanya,
pun boneka boneka manis berdebu,
tetap,
dan ini tidak menetap,
meski kadang dinding dinding rindu kata,
ubin ubin rindu jejak,
dan atap atap rindu gelak dari bualan bualan bodoh.
tidak ada yang sakit.
hanya merasa baikan, bugar, sehat,
seperti lembar daun yang habis ditiduri hujan semalaman, dan dihembus sejuk lalu bias matahari malu malu.
dan toh,
semua hanya selewat drama dengan peranmu dan tokoh tokoh pembantu,
hanya selewat,
mungkin dalam rongga belakangmu masih suka loncat loncat ingat,
mungkin.

Sabtu, 09 April 2011

puzzle

dari sebuah percakapan maya, dengan teman saya, dan cerita yang lari keluar begitu saja, lalu muncul ini dalam dialog kami:

seperti potongan puzzle yang kehilangan bagian bagiannya, kalau itu sepotongmu yang tertinggal, kalau ia sepotong milikmu, ia akan kembali, bagaimanapun, hingga bisa melengkapi kosong bidangmu, dan menjadi sempurna menjadi gambar yang apik.

dan ternyata dulu itu yang pernah saya katakan padanya, lucu juga saat tiba tiba kata itu berbalik alamat pada pembicaranya. kita memang selalu ahli dalam hidup orang lain, tidak untuk hidup kita sendiri.

bagaimana?
potongan milikku, sejauh apapun kamu terdepak dari jangkauanku,
biar sama sama tau,
kalau sudut sudutmu adalah milik lengkung lengkung ku,
aku yakin kamu punya kaki yang cukup kuat untuk berlari,
dan tangan yang sanggup memanjat,
dindingku,
supaya terjangkau lagi,
biar sama sama tau,
kalau itu benar benar kamu,
atau mungkin yang lain,
karna aku tidak mau bergerak lagi, selain kamu.

Minggu, 03 April 2011

sajak sajak frustasi

sajak sajak frustasi
melompat dari jalan jalan layang
terbang dari tinggi gedung dengan langit membayang
keluar dari kolong kolong jembatan
mengamuk di tepian jalan
meracau tidak karuan

sajak sajak frustasi
membelah diri dan memakani bangkai sendiri
mengunyah lapar lidah sendiri
mencuri nyata manusia yang mengendap fantasi
bertelanjang kaki dan berbaju dengki

terobsesi, dan
lalu bunuh diri

Sabtu, 02 April 2011

entah

Saya tidak tahu.

Saya hanya lelah.

Saya lelah membuntuti,

menunggu dalam bayang mendung.

Langit abu abu, angin kencang dan bayi bayi daun yang menangis kencang diterpa badai.

Tapi tidak juga hujan.

Menolak hangat oranye.

Juga tidak mau bersemu merah jambu.

Entahlah.

(enter)

ini bukan permulaan kalimat.
ini sudah beberapa paragraf.
sudah dimulai.
baru berjalan huruf demi huruf yang saling membuntuti.
sudah beberapa lembar,
dengan cerita berkembang.
tanpa alur.
Tunggu, aku keram untuk menyambung cerita,
tidakkah kamu juga?
Bukankah ini hanya buang buang kertas saja?
Bukankah ini hanya akan jadi seonggok kertas yang dilempar ke dalam tong sampah?
Atau malah hanya menjadi pembungkus cabe di pasar?
Atau alas gorengan penuh minyak?
Bukankah ini bukan cerita?
Ini tidak beralur, tema, dan bahkan judul.
Ini hanya ke egoisan penulis.
Menciptakan dua tokoh tanpa tujuan.

Lelah.
Dan aktor yang diam.
Dan bukankah bisa kita memilih?
Keluar dari cengkram pikiran penulis main main?
Dan aku mengambil langkah duluan,
membubuhi banyak enter denganmu,
memberi sekat,
dan berharap tidak  menjadi seonggok sia sia.
Mekar balita balita melati tanpa hidung.
Enter.
Enter.
Enter.
Enter.
Enter.
Enter.
Enter.
Enter.
Dengan susah payah.
Dengan kemunafikan yang terkadang muncul malu malu, menyerah begitu saja, dan memakan apa yang sudah dipilih.
Enter.
Enter.
Enter.


Hei, bukankah enter hanya penunda?
Hanya sekat kaca tembus pandang.

Bukan kah kita butuh titik?
Titik akhir penegas tidak ada paragraf baru, tidak perlu merajut lagi kata kata baru.
Selesai,
meskipun bukan tamat jalan cerita.

Mau?
Menaruh titik disampingku?
Karna ini sudah pasti, tidak akan menjadi cerita bersambung, iya kan?
Aku serahkan padamu, bubuhan titik disampingku hurufku.