Jumat, 12 Agustus 2011

Lampion Merah Bergambar Phoenix

saat merah menjadi kuasa,
dan degup adalah ibadah kita,
lalu mimpi kita adalah hentak liar yang semakin mencengkram,
dan kita di-Tuhan-i rasa yang sama.
memeluk, erat,
seperti ketiduran diatas ranting ranting peramabat,
tertidur, 
bermimpi tentang surga merona,
dan mimpi adalah hujan penumbuh ranting ranting,
semakin erat, 
tanpa sekat,
hingga terbangun,
lalu yang aku ketahui hanyalah hangat dan oranye,
awan memerah dan tubuh terbalutku,
dan keparat,
kenapa kita ditiduri mimpi surga bersama?
sementara kaki kakiku membiru dan ragaku adalah kosong habis kau minum,
dan kita hanyalah empat huruf pengunci tundukku,
dan bangsat,
bahkan aku tidak bisa bangun hanya untuk merasakan tulang belakangku masih tersusun,
dan kuasa diriku hanyalah lalu,
kita tidak dituhani rasa, selain dibudaki kepentingan,
kamu kenyang,
dan jantungku kosong,
ranting ini semakin erat tumbuh seperti rona pipi kita,
membunuh debarku sendiri pada diri.
ranting ini harus terlepas sayang,
diam diam, saat tidurmu dalam,
diam diam, menusuk pucuk ranting ini pada rongga dada kirimu,
menungguimu berdarah, dan jantungku tak kosong lagi,
berdebar lagi,
berdebar lagi pada merah pipiku sendiri.

(jatuh cinta, dengan diri sendiri, setelah menuntaskan "Lampion Merah Bergambar Phoenix" dari buku kumpulan cerpen Noviana Kusumawardhani, LELAKI YANG MEMBELAH BULAN.) 

Selasa, 09 Agustus 2011

rindu

ada yang menyeruak sesak, pada layar dan mata awan.
dan rindu yang mengabu kusam disudut berdebu, ketakutan pada bengis sepasang mata dendam,
yang meloncat loncat keluar atas nafsu pembalasan,
pada perjanjian dengan kedua jari tanganmu menyilang,
pada biru mulut salah ucapan,
menjatuhkan,
menghancurkan,
seperti lupa pada manis genap bulan bulan telanjang,
lalu dengan tanduk menyembul dari kepalamu,
dan pada aku yang tidak punya kepala untuk tegak pada kota citraku dirajam,
bolehkah aku sedikit sinting merindukanmu, panda?

Sabtu, 06 Agustus 2011

deru debu liar


musik menghentak, menari bersama deru binatang besi berkaki bulat empat ini. lalu hujan diluar, dan aku kamu menghentak liar seperti tarian amarah petir. menghentak, kanan, menerobos lalu lalang, dan menyenggol anak anak tak cukup umur diatas roda sepeda bermesin mereka, menyuapinya air becekan hujan.
terus! lalu lolong lolong bel dari sampin kanan dan kiri kami, mengoceh dan mengumpat, mengutuki hewan besi kami. menghiraukan lampu berhenti dan semakin menambah laju kami diantara bayang lampu jalanan yang terinjak injak.
mengencangkan musik, melukai lubang pendengaran kami yang berdarah darah. jangan pulang sebelum dikejar bapak bapak berseragam sok disiplin itu, pesanku.
bawa aku tua pada jalan jalan tua yang dilumuti setan ini!
senyummu, diantara kepul asap putung rokok kita yang tinggal setengah, yang terbang memenuhi kap hewan besi ini, dan saat jatuh cinta adalah perjanjian untuk berjudi pada hal hal gila dan bertaruh pada setan atas nyawa, maukah kamu menjadi pendebar sesak dadaku ini?

Senin, 01 Agustus 2011

payung dingin peneduh

bintang mengelusku hingga pulas. jatuh, lalu membawa dalam dimensi ruang tak teraih.
lalu gelap, hitam. dan aku sudah tiba lagi. siap kau rengkuh dan benamkan dalam hangat lenganmu dan dingin dadamu.

"ada yang lupa kau bawa malam ini..."
aku menoleh, ke suara dibelakangku.
"apa?" tanyaku acuh, sambil memainkan kerikil oranye di antara jari kakiku.
"coba lihat aku."
aku meluruskan dudukku menghadapnya,
lalu direngkuhnya aku,
"kamu lupa membawa serbuk binar, dan tidak menaburnya pada biji matamu, malam ini"
"aku..."
"aku tau, hujan membawa ceritamu sampai pada sungai sungai malam. dan aku sudah kenyang membacanya."

ah lelaki ini. lelaki dengan mata dingin dan mantel hitam. menjulang dingin, dengan bongkah dada berasap. hangat. dan payung yang selalu dipakainya, seperti teduh yang selalu ia payungkan, pada pundak sayap lusuhku.

"kamu tidak boleh terbang lagi."
"kenapa?"
"kamu lihat, sayapmu lusuh, jemarimu biru biru. lingkar matamu, tidakkah kau lihat hijau dibawah mereka?"
aku diam.
dan merapatkan diri pada hangat dadanya.
dan berbicara melalui peluk dan pejam yang tidak terbaca, kecuali lelaki satu itu.

"hmm."
dan diantara bunyi burung hantu, gumamku adalah jawab atas segala racauannya.
mengusap lenganku, dan sibuk dengan kosong matanya, mata bulatnya yang dingin keabuan.

kami tidak pernah benar benar bercerita.
aku hanya datang, diam, dan masuk menyusup dalam mantelnya. dan ia sudah tau segala tentang duka suka dan rapuh. dan hujan selalu menyanyikan lagu sendu, untuk setiap cerita tak terucap dan peluk kelelahan.
lalu ia akan bermonolog hingga aku ketiduran, seperti nina bobo ibu ibu berisik.
lalu langit akan mengantar, pada rindu yang sudah terjamah, pada kerikil kerikil oranye, dan matahari pengusik. yang aku benci baunya, kita sama sama benci baunya. sinar terang yang menyusupi mata mata kita, dan kamu hilang,
hanya berpesan,
"pulanglah, sudah pagi."

tanpa terjawab,
dan meninggalkan dada terpintal hangat, dan semangkuk serbuk binar untuk hari kedepan.
lelahku, adalah jatuh cinta bertemu kamu.