Rabu, 08 Februari 2012

hari 25: jalanan tua

Gelap selalu meniduriku dengan tak sopan,
membiarkanku mengering dingin menunggu hangat sapuan tuan matahari pagi.
Tapi aku tak pernah mengutuk gelap malam,
karna pagi selalu mengantar simpul senyum pada bibir kakuku.
Mengirim kamu.
Dan untuk itu aku tidak pernah lelah menghitung gonggong anjing malam,
yang menyalak menghitung mundur bangun mentari.
menunggui pagi kembali, menunggui kamu menoreh kuas merah jambu pada pipi kasarku lagi.

Mungkin kamu sama seperti pejalan kaki lain,
Hanya,
aku suka sepatu kets pudarmu,
kaos putihmu,
senyum lebarmu saat matahari mecium pipimu sedikit demi sedikit.

Mungkin kamu sama dengan pejalan kaki lain,
hanya,
aku suka mendengar nafasmu sepenggal sepenggal,
merasakan satu persatu tapakmu melahap jalanan tua ini.

Mungkin kamu sama halnya dengan pejalan kaki lain,
Hanya,
aku suka caramu melewati jalan ini perlahan,
mengisi setiap kosong bayanganku yang menimpa debu jalanan.

Mungkin kamu memang benar sama dengan pejalan kaki lain,
yang dikagumi aku,
sebatang pohon tua yang muluk muluk,
yang mencintaimu diam diam dari sela bebatanganku.

Senin, 06 Februari 2012

hari 24: hati tua yang berisik

alun gramaphone tua,
yang dendangnya aku hentak sampai pada labuh telingamu.
lalu telingamu mengantar hingga hilir kepalamu yang dingin.
yang lama beku pada tuju wanita di sudut itu.
biar kamu pecah berantakan seperti gadis merah dalam dadaku.
berhambur dan tercuil hingga keping terakhir yang terbungkus batu,
akan  memori aku kamu,

dan kamu harus tau akan aku,
yang selalu siap menyangkir kafein untuk kamu seduh,
dalam kalut.

Kamis, 02 Februari 2012

hari 20: bekas ruang dansa dan kita

aku meyilangkan kakiku dan duduk di lantai kayu yang mulai lapuk,
dengan papan catur berdebu dihadapanku,
dan cangkir teh yang mengering disampingku,
bercerita panjang lebar,
mengomel tentang pagiku yang buruk,
sambil sesekali melempar tatapan kesal padamu.
lalu tanpa jeda menceritakan guruku yang luar biasa menyebalkan,
dan tiba tiba tersenyum girang saat memberi tahumu tentang dress biru laut yang diberikan ibu sepulang sekolah tadi.
kamu hanya diam, dan menatapku yang tidak berhenti bicara.
katamu, aku satu satunya perempuan tercerewet yang kamu kenal.
dan aku membalasmu dengan berkata bahwa kamu adalah pria pendengar yang paling baik yang aku kenal.
kamu tersenyum dan mencuri pandang dari celah pupilmu.
aku malah sibuk menunjukkan kuku kuku merah jambuku yang masih bau cat padamu.

sudah setahun ini, aku selalu menyempatkan datang ke gudang kosong ini tiap senja.
bukan gudang sebenarnya, sebuah ruang kosong bekas ruang dansa yang dijadikan gudang.
lalu aku dan kamu yang saat itu sedang bersepeda melewati ujung jalan ini, sama sama sepakat, untuk menjadikan bekas ruang dansa ini tempat kita.
masih ingat kan saat aku dan kamu seharian penuh membersihkan ruang ini dari debu dan sarang laba laba?
pulangnya aku dimarahi habis habisan oleh ayah karna tidak mengabarinya, dan kamu membelaku penuh hingga ayah iba dan justru menyuruhku segera makan dan tidur karna kelelahan.
lalu tiada senja yang terlewat selain percakapan kita berdua disini.
terkadang hanya saling diam sambil memainkan pion catur.
atau sama sama menyesap kopi panas dan menunggu hujan reda untuk kembali ke rumah.
dan ruang ini tidak pernah berubah dari hangat senyummu, tempat paling damai selain kamarku.
kamu, pria kedua yang paling menyenangkan untuk sama sama membunuh waktu selain kakekku.
dan sanggup membuatku jatuh hati hanya dengan senyum atau tepuk lembutmu saat mendengar ceritaku.

aku mengeratkan jaket yang menutupi tubuhku,
tersenyum dan menggerakkan pion caturku,
"ayo.. giliranmu sekarang." 
aku menunggumu menggerakkan pionmu,
pion yang tidak benar benar bergerak,
dan tiga bulan ini berdiri dingin berdebu,
selain kamu kembali dan duduk bersamaku lagi di papan kayu ini.
aku mulai tak sabaran,
"ayo jalankan pion caturmu, aku akan mengalahkanmu lagi loh sore ini."



aku menunggumu seperti kamu akan pulang,
dan mendoakanmu jatuh hanya untuk membuatmu ingat,
aku di depan papan catur berdebu ini siap berdiam dan ganti mendengar keluhmu, lelaki.


hari 20: bekas ruang dansa dan kita

aku meyilangkan kakiku dan duduk di lantai kayu yang mulai lapuk,
dengan papan catur berdebu dihadapanku,
dan cangkir teh yang mengering disampingku,
bercerita panjang lebar,
mengomel tentang pagiku yang buruk,
sambil sesekali melempar tatapan kesal padamu.
lalu tanpa jeda menceritakan guruku yang luar biasa menyebalkan,
dan tiba tiba tersenyum girang saat memberi tahumu tentang dress biru laut yang diberikan ibu sepulang sekolah tadi.
kamu hanya diam, dan menatapku yang tidak berhenti bicara.
katamu, aku satu satunya perempuan tercerewet yang kamu kenal.
dan aku membalasmu dengan berkata bahwa kamu adalah pria pendengar yang paling baik yang aku kenal.
kamu tersenyum dan mencuri pandang dari celah pupilmu.
aku malah sibuk menunjukkan kuku kuku merah jambuku yang masih bau cat padamu.

sudah setahun ini, aku selalu menyempatkan datang ke gudang kosong ini tiap senja.
bukan gudang sebenarnya, sebuah ruang kosong bekas ruang dansa yang dijadikan gudang.
lalu aku dan kamu yang saat itu sedang bersepeda melewati ujung jalan ini, sama sama sepakat, untuk menjadikan bekas ruang dansa ini tempat kita.
masih ingat kan saat aku dan kamu seharian penuh membersihkan ruang ini dari debu dan sarang laba laba?
pulangnya aku dimarahi habis habisan oleh ayah karna tidak mengabarinya, dan kamu membelaku penuh hingga ayah iba dan justru menyuruhku segera makan dan tidur karna kelelahan.
lalu tiada senja yang terlewat selain percakapan kita berdua disini.
terkadang hanya saling diam sambil memainkan pion catur.
atau sama sama menyesap kopi panas dan menunggu hujan reda untuk kembali ke rumah.
dan ruang ini tidak pernah berubah dari hangat senyummu, tempat paling damai selain kamarku.
kamu, pria kedua yang paling menyenangkan untuk sama sama membunuh waktu selain kakekku.
dan sanggup membuatku jatuh hati hanya dengan senyum atau tepuk lembutmu saat mendengar ceritaku.

aku mengeratkan jaket yang menutupi tubuhku,
tersenyum dan menggerakkan pion caturku,
"ayo.. giliranmu sekarang." 
aku menunggumu menggerakkan pionmu,
pion yang tidak benar benar bergerak,
dan tiga bulan ini berdiri dingin berdebu,
selain kamu kembali dan duduk bersamaku lagi di papan kayu ini.
aku mulai tak sabaran,
"ayo jalankan pion caturmu, aku akan mengalahkanmu lagi loh sore ini."

aku menunggumu seperti kamu akan pulang,
dan mendoakanmu jatuh hanya untuk membuatmu ingat,
aku di depan papan catur berdebu ini siap berdiam dan ganti mendengar keluhmu, lelaki.