Jumat, 28 Juni 2013

mengawasi dalam diam

aku mengawasimu dari jauh.
dua pasang mata yang paling ku kenali, sedang membereskan pecahan cangkir yang jatuh dan pecah di ruang tamu.
angin terlalu kencang, dan aku lupa mengingatkanmu untuk menutup jendela, sementara kamu asik larut dalam buku fantasimu, hingga akhirnya angin menggoyangkan tirai, menyenggol vas bunga lily dan mendorong cangkir berisi teh dengan genangan bunga melati segar tumpah sore ini.
kamu masih perempuan yang ku kenali selama beratus ratus perputaran matahari.
kamu dengan tabah memunguti pecahan pecahan cangkir yang berserakan seperti bongkah kosong hatimu.
tanganmu cekatan menghindari tajam, seperti terlatih untuk menjauhi luka.
aku mengawasimu dari jauh.
berjalan membawa kantong berisi beling ke arah dapur.
melewati anjing kecil yang sedari tadi melolong ke arah tempatku berdiam.
kamu melewatinya dengan acuh, menyuci tangan dan merebus air untuk teh yang tak sempat kau minum.
rambut ikalmu kau ikat ke atas, lengkap dengan beberapa helai yang jatuh ke lehermu.
sementara radio yang sedari tadi memutar lagu bahagia tenggelam dan berganti lagu kelam.
matamu kosong menatap gelembung air yang mendidih di atas panci.
jangan lagu ini, pintaku.
angin di luar masih kencang berhembus, gorden berusaha menahan diri untuk tidak larut berdansa pada lagu kematian yang sedang berdendang di ruang tengah.
kamu masih termenung menatap kosong ke arah air mendidih.
hening.
hanya suara radio yang semakin mencakar cakar gendang telingamu.
matikan.
kamu masih larut dalam kosongmu, menatap diam ke arah panci berisi air mendidih yang semakin habis menguap.
terhipnotis dalam diam, layaknya anak kecil yang terpaku pada sulap di pasar malam.
angin masih kencang di luar.
gorden mulai bergoyang mengikuti hembus angin akhir minggu, menyenggolku perlahan.
air di panci sudah habis, dan mulai berasap.
kamu masih terdiam.
PRANG!
kamu masih dalam lamunmu dalam.
anjing kita menyalak dan menarik ujung bajumu.
seperti tersentak,
kau dengan tergopoh gopoh mematikan kompor.

matamu adalah langit cerah yang aku kenal sejak pertama kali kita bertemu.

kamu tergopoh mematikan radio yang mulai melanjutkan lagu lagu penyayat sore lainnya.
kamu tergopoh lari ke ruang tamu,
menatapku iba,
dengan dua mata tercerah yang selama ini ku temui, dulu.
kamu masih menatapku dengan bibir tertarik ke bawah,
dua mata yang tak lagi ku kenali, sekarang ini.
katamu satu satunya yang bisa memupuk matamu bersinar adalah suaraku menyanyikan lagu favoritmu,
lagu favorit kita, yang selalu kita dengar di radio pada senja berangin di akhir minggu.
matamu berkabut, mulai menitik gerimis gerimis yang paling ku benci.
aku ingin bernyanyi, seperti yang selalu ku lakukan untuk meredakan air matamu,
namun aku bisa apa, saat untuk menggoyang badanku pun aku tak bisa,
saat memanggilmu untuk sekedar mengingatkan menutup jendela pun aku tak bisa,
saat tubuhku hanya abadi dalam selembar foto bergandengan denganmu,
foto terakhir kita, yang kau abadikan dalam sebuah pigura kaca,
di ruang tamu kita.

jangan sedih.
kataku perlahan, saat tanganmu sibuk membersihkan pecahan pigura, tempatku berdiam.

Kamis, 27 Juni 2013

sandiwara

ia merapikan kartu tarotnya, menyusunnya dalam setumpuk kebohongan berkaret bualan.
dihapusnya kutek dan maskara tebal yang menguatkan dustanya; untuk berbicara apapun seingin mulutnya memuntahkan ke-sok-tahuan, di bawah kebenaran supranatural.
ia masukkan bola kristalnya ke dalam kardus di sudut ruang,
pasar malam sudah dikadaluarsai pagi, dan segala ketidak sungguhan sudah penuh diucapkannya semalaman pada beratus tangan tangan menengadah pasrah, meminta dibaca akar urat nasibnya.
ia melepas gulungan rambutnya, membersihkan gincu merah dan segala atributnya.
katak katak di dalam gelas kaca ia lepaskan lagi ke danau di belakang tenda bermukimnya.
kucing hitamnya ia mandikan hingga luntur kelamnya.
ia berbaring tenang, dan berusaha tertidur dari dentang ke dentang jam gantung.
punggungnya bolak balik gelisah.
insomnia di siang bolong.
perutnya keram menahan gelak yang tak berani diumbarnya dalam tawa terbahak.
menertawai mata mata lusuh lapar pengharapan, haus kotoran kotoran terbungkus bijak, dan melolong berkeliling kota dengan dada robek dan mengais segala harapan yang dilemparkan padanya.
berpuluh puluh manusia putus asa yang tersesat ke tenda ramalnya,
membayarnya penuh untuk melempar daging daging bualan busuk ke mulut mereka, dan mereka santap dengan kepala terangkat sekeluar dari itu.
perutnya keram, tapi akting harus terus berjalan,
karena bualan harus ia siapkan dengan semangkuk penawar tawa  untuk setiap pelanggan yang berhasil diperdayanya.

---

ia berjalan sendirian diantara kerumunan orang orang yang sibuk merapikan dagangan sisa semalam.
beberapa orang melempar pandangan padanya, yang tak dia balas barang sebuah toleh sekejap.
beberapa lagi berbisik ingin tau dengan lirikan penuh tanda tanya menggantung.
ia mempercepat jalannya, hingga tiba di sebuah gang sempit di ujung kota.
ditukarnya baju lusuh dan segala coreng hitam di bawah mata sayunya.
sambil meneguk minumannya ia bersandar dan merenungi semalam.
sebuah tenda ramal yang menarik perhatiannya berbulan bulan di pasar malam.
dan sebuah malam yang ia sempatkan untuk menjual kepercayaannya pada bola kristal dan tunjukan jari seorang peramal tua pada garis tangannya.
perutnya menahan tawa getir.
peramal tua dengan mata berkerut yang membaca gurat gurat masalahnya, masalah yang ia kumpulkan dalam bual mata layunya.
ditahannya tawanya agar tidak meledak di akhir ia keluar dari tenda tersebut, untuk satu orang yang terperdaya dan susah payah mengurai benang masalah yang ia kusutkan pada cerita cerita kebohongan.

---

dan hidup hanya berjalan layaknya panggung megah berisi pemeran pemeran bertopeng yang menjalankan naskah, saling mengisi butuh dan melumuri badannya dengan bualan setiap harinya, berperan semata mengenyangkan senang antar sesama.

bahagia berkabut tragis, yang menyamarkan tulus di atas segala kepentingan semesta.

Mimpi mimpi karam

Banyak yang tidak diketahui sejumput otak kecil menganga yang masih sibuk menampung maksud langit di keningnya. Tentang pertanyaan pertanyaan tak terjawab tentang mimpi balon udara yang ia lambungkan dan tidak didaratkan tuhan.
Banyak tanya tentang eksistensi mimpi pada telan susahnya pada realita yang tak dijabah nyata.
Ada begitu rekah mimpi di matanya yang ia nina bobokan pada lelap setiap malam, bertahun tahun, pada langit yang sama.
Tentang mimpi yang ia susun dari balok balok harap dan coret berlembar lembar tembok di hadapannya, tentang debar yang begitu gema pada kosong bergelas gelas ingin yang tak penuh penuh.

Katanya, seorang laki laki laut pada senja keberapa yang ia lupa asal temunya, mimpi adalah pengharapan hidup yang menggerakkan sampan hidupmu, lalu letakkan ia sebagai jangkarmu, biarkan jatuh hingga menancap pada ruas dasar laut yang ingin dituju.

Lalu jangkar ini ku berati dengan bergram gram pasir mimpi semalaman, lalu sampan ini terus bergerak ke arah angin yang tak sama, menjangkar pada apa yang tak diucap mimpi pada bermalam malam sebelumnya.
Lalu lautku goyang.
Sampanku mengambang tak mengarah pada utara.
Lalu nelayan ini tersesat pada mimpinya sendiri.
Menumpuk tanya pada adanya tuhan,

pada setiap mimpi tak terjangkar diam.

Rabu, 26 Juni 2013

dari tumpukan tak terambil

matahari menggantung malu malu di depan pintu kamarmu.
sinarnya bahkan tak cukup kuat menarikmu dalam keterjagaan.
aku menyeduh teh di sudut ruang kamarmu, menarik selimutmu dan menyibak gorden lusuh di depanku,
duduk menghadap jendela dengan segelas teh melati, menikmati pagi dengan selembar sajak buatanmu semalam, menggoyangkan kaki merabai mekar mekar bunga matahari di bawah jendelamu.
menamatkan tatapku sebelum kamu terbangun.
sama seperti beratus ratus pagi sebelumnya.

bulan duduk duduk di beranda kamarmu.
tangannya sibuk membolak balik koran tadi pagi, bersiap terjaga menemanimu menulis sajak hingga esok pagi.
aku duduk di sudut gelap ranjangmu, mengamatimu berkutat dengan pena dan lembar kosong di hadapanmu, dengan sebatang kretek yang baru kau nyalakan.
gramaphone tua mendendangkan lagu favorit kita, kakimu tak bergerak sama sekali, barang mengikuti irama nada nada yang kita hapal di luar kepala.

tidak ada ucapan selamat malam,
tidak ada percakapan pembuat malam kita kekal tanpa lelap,
tidak ada tatap seperti malam malam sebelumnya.

matahari tetap benderang di matamu, hanya terlalu silau untuk menangkap bayanganku di seberang.
bulan tetap temaram di matamu, hanya terlalu gelap untuk mendekap bayanganku di belakang.
lalu kamu acuh pada setiap jejak kakiku yang membekas di setiap senti lantai kayu kamarmu.
lalu aku menjelma ilalang di berandamu, jam dinding tua di kamarmu,
melakukan semua kebiasaan kita,
dan menolak lupa pada ratusan hari di belakang kita, sendirian.


katamu aku tak seharusnya jatuh pada kenangan,
katamu kita sudah terlalu jauh untuk sebuah peluk selamat malam,
katamu kita sudah terlalu jauh dibatasi dingin tanah merah,
dan aku yang sudah kau selimuti harum kamboja,
dan kau tidurkan dalam tenang, beserta pemakaman peti peti kenangan,
tak seharusnya kita merayakan yang sudah terkubur rapi,
tak seharusnya kita merayakan kebersamaan semu,
katamu,
 pada aku yang sudah terbujur mati dalam ingatanmu.

Sabtu, 15 Juni 2013

mimpi mimpi terbunuh

ada berjuta bulir hujan jatuh menimpai mimpiku yang mekar,
satu diantaranya tajam merobek lapisan terluar langit kepalaku,
sisanya memukuli tengkorakku hingga lubang,
sebagiannya menerobos masuk menuju labirin labirin otakku, memunguti mimpi, membopongnya keluar, dan membakarnya tepat di depan dua pupil mataku, hingga hangus.

Minggu, 09 Juni 2013

perahu tua yang menolak karam

hujan sedang deras derasnya pada langit kita,
ibu bulan menangis tersedu melihat kita terombang ambing anak lautan,
sementara badai menerjang kapal dari utara,
mendorong kita mundur pada waktu saling mengasing luka.

kapal kita tak pernah karam tuan,
setidaknya kita selalu berusaha.
kapal kita tidak pernah karam tuan,
setidaknya kita masih dalam gandeng erat kapal reyot ini,
berusaha tidak karam,
dari ombak waktu dan jarak yang semakin melara.

titik hujan dan labirin tak berpintu

mungkin aku adalah sepi yang kau tunggu di keramaian
kursi tua nyaman yang kau cari dalam sesak pasar malam
seteguk air yang kau cari pada kerontang kemarau
kabar baik yang kau tunggu dari televisi yang mengasapkan berita duka

mungkin aku peta yang tak lelah kau telusuri
mungkin aku jalanan kosong yang tak lelah kau cari ujungnya
tanpa kompas, dan menikmati setiap ketersesatanmu disana

kisah ini labirin rimbun dengan setiap kejutan di persimpangannya
tanpa ketenangan
kisah ini labirin rumit dengan banyak cabang yang kau tak tau akhirnya
tanpa perhentian

kalau kisah ini adalah labirin rimbun,
kalau kisah ini adalah labirin rumit,
maka biarkan aku meminta kisah ini hilang dalam pencarian,
karena pintu keluar hanyalah pemisah,
dan dunia luar terlalu berbahaya bagi kita.

kalau aku adalah petunjuk yang kau cari untuk keluar dari perjalanan ini,
karena lelahmu,
karena ketidak adaan aku dalam sunyi senyap perjalananmu
lihatlah titik hujan yang masih menempel di luar jendela,
dan doaku yang tersangkut dari ribuan itu,
mengawasimu dalam diam,
sampai kau benar benar terpejam,
setiap malam.