Rabu, 26 Juni 2013

dari tumpukan tak terambil

matahari menggantung malu malu di depan pintu kamarmu.
sinarnya bahkan tak cukup kuat menarikmu dalam keterjagaan.
aku menyeduh teh di sudut ruang kamarmu, menarik selimutmu dan menyibak gorden lusuh di depanku,
duduk menghadap jendela dengan segelas teh melati, menikmati pagi dengan selembar sajak buatanmu semalam, menggoyangkan kaki merabai mekar mekar bunga matahari di bawah jendelamu.
menamatkan tatapku sebelum kamu terbangun.
sama seperti beratus ratus pagi sebelumnya.

bulan duduk duduk di beranda kamarmu.
tangannya sibuk membolak balik koran tadi pagi, bersiap terjaga menemanimu menulis sajak hingga esok pagi.
aku duduk di sudut gelap ranjangmu, mengamatimu berkutat dengan pena dan lembar kosong di hadapanmu, dengan sebatang kretek yang baru kau nyalakan.
gramaphone tua mendendangkan lagu favorit kita, kakimu tak bergerak sama sekali, barang mengikuti irama nada nada yang kita hapal di luar kepala.

tidak ada ucapan selamat malam,
tidak ada percakapan pembuat malam kita kekal tanpa lelap,
tidak ada tatap seperti malam malam sebelumnya.

matahari tetap benderang di matamu, hanya terlalu silau untuk menangkap bayanganku di seberang.
bulan tetap temaram di matamu, hanya terlalu gelap untuk mendekap bayanganku di belakang.
lalu kamu acuh pada setiap jejak kakiku yang membekas di setiap senti lantai kayu kamarmu.
lalu aku menjelma ilalang di berandamu, jam dinding tua di kamarmu,
melakukan semua kebiasaan kita,
dan menolak lupa pada ratusan hari di belakang kita, sendirian.


katamu aku tak seharusnya jatuh pada kenangan,
katamu kita sudah terlalu jauh untuk sebuah peluk selamat malam,
katamu kita sudah terlalu jauh dibatasi dingin tanah merah,
dan aku yang sudah kau selimuti harum kamboja,
dan kau tidurkan dalam tenang, beserta pemakaman peti peti kenangan,
tak seharusnya kita merayakan yang sudah terkubur rapi,
tak seharusnya kita merayakan kebersamaan semu,
katamu,
 pada aku yang sudah terbujur mati dalam ingatanmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar