Sabtu, 09 November 2013

Lingkar.

Apa yang paling ditakutkan pemanjat tebing pada dakian adalah apa yang paling diingankan seorang kamu untukku.
Jatuh.
Padahal panjatanku sudah cukup tinggi untuk menemukan tebing layak demi menghabiskan sisa sore kita, tapi kamu masi sibuk menarik tali pengamanku untuk jatuh menujumu.
Entah kamu seperti pelukis yang mendambakam esensi, dan keterjatuhanku seolah titik pusaran segala pencarianmu pada labirinku.
Padahal isap rokok tak disulut pun seharusnya lebih abadi dari apa yang berusaha kamu abadikan pada kita, tanpa harus menimpaku batu batu beban agar jatuh tersimpuh patuh.
Padahal aku sudah cukup menggulung pagi untuk menolak aroma lain selain kamu. Tapi rupanya bekalku tak cukup untuk membebani timbang ragumu, tetap membuatnya berayun lalu menyisa mual yang perih di apa yang kamu bilang rasa.
Lalu apa lagi perihal rasa yang entah semakin jauh hilang dari kosakata yang mudah kita mengerti? Semakin rumit seperti sajak sajak penyair buta huruf yang tak sampai maksudnya.
Dan kita seperti bait menyambung bait beruntun, kadan runtun lalu tak sambung, berulang hingga kita hafal alurnya.
Alur cerita yang gagap menemukan akhir yang pantas, agar tak lagi diretas oleh segala kamu dan ragu ragamu.