Jumat, 29 Juni 2012

Sepotong Langit Merah dan Laut


Langit merah, merekah dan hampir jatuh. Seorang gadis, merah, berdarah dan sudah terjatuh. Gaunnya kumal. Dadanya tertancap panah. Senyumnya legit meski gincunya mulai terdesak bulir bulir gerimis dari matanya, nyaris luntur. Ia terhuyung menyusuri setapak. Tergopoh memasuki desa. Di belakangnya seorang pemuda mengikuti. Dadanya juga tertancap panah. Senyumnya mengembang seperti gula kapas. Beberapa kali ia tergelak melewati semak yang memagari setapak itu, semak dengan bunga berbulu yang sesekali menggelitik pinggangnya yang terlapis jubah legam. Tangannya tertarik tarik gadis di depannya, jalannya terlalu lambat dibanding gadis itu, berkali kali ia mengencangkan genggamannya, dan setiap itu terjadi si gadis menoleh dan melempar senyumnya pada pemuda itu. Pemuda itu mempererat genggamannya, disusul toleh gadis di depannya, ekor kudanya bergoyang mengikuti arah lehernya, senyum itu.. pemuda itu bergegas membuka toples kecil dari sakunya, senyum itu terbang dan jatuh tepat masuk ke dalam toples kaca itu, menyusul kerumunan senyum yang sudah lama terkumpul.
Gadis itu acuh, matanya tetap fokus menyusuri setapak, tangannya sebelah masih menggenggam pemuda yang mengekorinya.
Sudah berapa banyak isi toplesmu?
Nyaris penuh
Butuh berapa toples untuk menyimpan aku tetap hidup dalam otak dan hatimu?
Sebanyak kamu mau menungguku, toples ini akan aku simpan dalam sudut kamarku, ku kulum layaknya kembang gula sebanyak waktu sebelum kita bertemu lagi.
Gerimis turun lagi dari dua bola mata gadis itu. Mulai mendesak bedak bedak tebal jatuh meluruh tanah. Panah di dadanya terasa semakin menusuk.
Kalau begitu aku tak akan tersenyum banyak untukmu, tuan.
Agar kau cepat kembali.
Pemuda itu terdiam sejenak. Lalu badannya tertarik lagi mengikuti gerak gadis yang berjalan di hadapannya itu. Gaun putih yang kumal, dengan bercak lumpur di tepi tepinya. Rambut yang diekor kuda. Kaki yang lecet karna perjalanan yang tak kunjung bertemu ujung. Senyum yang terus mengembang, sisa mascara yang meluber dan berjejak hitam di pipinya, seharusnya gadis ini tampak sedikit menyeramkan, tapi tidak bagi pemuda itu.
Gadis ini menyeka keringatnya. Setapak yang dilaluinya tak kunjung habis. Ini tandanya masih jauh jalan yang harus dilalui. Tangannya masih erat menggenggam pemuda di belakangnya. Pemuda dengan jubah legam dan sepatu berlumpur, bajunya kusut menandai jauhnya perjalanan yang sudah dilalui bersama gadis ini semenjak pagi. Gadis ini menoleh diam diam pada pemuda berjubah itu, sementara yang sedang diperhatikan justru sibuk mengamati langit yang sedang merah merahnya.
Aku suka langit ini.
Gadis itu terkejut dan buru buru mengemas pandangannya untuk tertuju lagi pada setapak kosong yang memanjang hilang di hadapannya.
Hanya langit memerah ini yang mengingatkanku bahwa kita masih di bawah atap yang sama, semesta yang sama, lanjut pemuda itu.
Ada senyum kecil tersimpul malu malu di bibir gadis ini. Ia mendongakkan kepalanya ke atas.
Hanya di bawah langit ini, aku merasa kamu menginjak tanah yang sama, aroma rerumput yang sama, deras hujan yang sama denganku, sejauh apapun aku tak dapat menangkap ragamu.
Pemuda itu mempercepat langkahnya, berlari kecil mendahului gadis itu. Lalu berdiri mematung tepat di hadapan gadis. Memaksa gadis ini tak melanjutkan jalannya.
Hingga kemana kita akan berjalan? Mencari tuan semesta dan menyalahkan keadaan?
Gadis ini terdiam. Gaun yang sedari tadi ditariknya tinggi tinggi untuk mempercepat langkahnya, ia turunkan perlahan. Tangannya merogoh sesuatu dari kantung yang sedari tadi tergantung di bahunya. Ia mengeluarkan bandul jam, dan sebuah peta yang tergambar kasar di atas selembar kulit tua.
Kita akan terus berjalan. Mencari pengatur semesta dan meminta ia melenyapkan dua benda ini
Si Gadis menyeka gerimis yang mulai merintik lagi di pipinya. Matanya berbinar lebar, menunggu keajaiban datang seperti anak kecil yang tak sabar menunggu kelinci keluar dengan ajaib dari topi tukang sulap yang kosong tadinya.
Kita tak perlu meminta Tuan semesta melenyapkan ini. 
Pemuda ini menarik bandul dan  peta kulit itu dari genggaman si gadis, melemparnya jauh menembus langit merekah, hilang tertelan awan keorenan.
Gadis ini tertegun, tepat ketika ia akan bersuara pemuda ini mengeluarkan sejumput senyum dari setoples dan memasangnya di lengkung bibir gadis ini.
Kita tidak bisa melenyapkan waktu, dan jarak. Kita hanya perlu sedikit senyum dan tawa lepas untuk melupakannya, melemparnya jauh untuk tidak mengingatnya lagi.
Pemuda ini menggenggam kedua tangan si gadis.
Tuan semesta tidak pernah salah. Pada jarak yang menggerus temu kita. Pun pada waktu yang membuatmu menunggu.
Pemuda ini mengeluarkan toplesnya.
Percayalah. Tidak ada waktu yang sia tanpa menghidupkanmua dalam otak dan hatiku. Senyummu ini akan ku seduh, tiap aku rindu pulang dan lelah untuk berjuang, bahwa ada seorang gadis yang menantiku dibawah langit memerah yang lain, yang sama bergulat dengan jarak dan waktu.

---


Pemuda itu menyisa kecup di udara.
Langit tetap memerah. Gadis bergaun kumal itu tetap memejam dan membaui rerumputan. Ia menampung gerimis matanya dalam sebotol bening, memasukan bau rerumputan, deras hujan, dan langit kemerahan ke dalam botol itu hingga sesak.
Matanya terbuka. Ia mengeringkan sisa gerimis di pipinya dengan ujung gaunnya. Maskaranya sudah luntur, gincunya sudah memudar, senyumnya masih mengembang. Ia mengangkat gaunnya dan berjalan lebih cepat menyusuri setapak.
Hingga ia berhenti di tepi sebuah laut. Badannya terduduk di atas pasir. Ia mengeluarkan botol beningnya, lalu menghanyutkannya di gelombang air.
Untuk tuan yang sedang berjuang, entah sampai padam matahari yang kapan. Aku mengirimkan sebotol nostalgia kecil tentang langit merah  dan kita. Saat persediaan toples senyumku sudah menipis, ingatlah ada gadis yang nyaris menyerah menunggumu diujung sini, menunggu bandul jam dan peta kulit tak menjadi suram bagi cerita kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar