Minggu, 12 Juni 2016

Hilang

Pada rimbun ilalang panjang kamu hilang menuju persembunyian,
tak kau biarkan jejak tergambar tuk diburu aku.
Segala peluh yang kau teguk sendiri agar tak bisa dibagi keluh kesahnya,
sementara sketsa rasamu belum sempurna tuk dipajang pada tembok rumah kita,
dan kamu terburu berkemas demi mengganjal resah dengan sepotong roti yang kita simpan tuk besok malam.

Pada dingin yang tak tercatat dalam suhu tubuh kita,
percakapan tergeletak pasrah menunggu teraih pacu larimu menuju ke entahan tuju.
Dan kita ibarat musafir menolak kepulangan,
memilih tersesat dalam gumuk pasir tanpa tujuan,
lalu pemberhentian hanya untuk saling menyuapi kecewa yang membusung kelaparan.

Pada kepasrahan, bahkan sebelum bait pertama rampung dituliskan,
dan kata kata yang saling berbagi hening dalam cerita masing masing,
sungai tak berarus dan laut tak bermuara,
dan kita hanyut menuju kesedihan tak terbagi adil.

Pada rimbun ilalang,
pada setiap jengkal pelarian,
pada persembunyian,
pada dingin yang hening,
pada kepasrahan yang renta;
kita dua yang terbengkalai atas rasa,
merangkum kehilangan-kehilangan,
yang menolak dirasakan.



Minggu, 05 Juni 2016

Setapak Baru

Perihal aku,
dan ketakutan-ketakutan yang menghitam di bawah mataku.
Mengenai kantuk yang belum lelap ditiduri waktu tuk berkemas dari cerita lalu.
Mengenai luka yang belum genap diobati rasa tuk sekedar menjadi siap pada sebuah perjalanan baru.

Perihal aku,
dan kecemasan-kecemasan yang bergurat menggaris wajahku.
Mengenai persimpangan jalanan yang sudah, dan akan dipilih tuhan tuk memeta kehidupan.
Mengenai debar yang tak kunjung genap pada sekian perjumpaan berlainan.

Perihal aku,
dan kelelahan-kelelahan yang membiru pada geming tawaku.
Mengenai kisah-kisah tak usai yang menjadi catat kakiku tuk menahan langkah.
Mengenai musik-musik tak lantang yang menjadi caraku mengabu rasa tak menyuara resah.

Perihal aku yang tak lagi aku,
dan ribuan tanya menggantung pada lelangit mereka.
Mengenai pilihan-pilihan yang membawaku mengingkari kepercayaan pada waktu.
Mengenai langkah-langkah yang menderap perlahan membawaku mengiringi jalanmu.

Jangan jatuh terlalu cepat, katanya.
Sementara luka tak akan membawamu kemana, bisik mereka.
Dan kita yang berusaha memelankan bising radio menyuara berita-berita tak baik.
Dimana perihal aku menjadi perihal kita,
dan aku yang tak lagi menjadi aku dalam menyikapi langitmu yang biru.
Percaya pada bias cerah yang menerobos tirai gelapku,
dan keabstrakan kisah menuntun, yang tak pernah terpikir dalam lamun.
Dan kita dua yang tak lagi kita yang lalu,
berlari bersama konspirasi alam tuk lepas dari ketakutan, kecemasan dan keengganan tuk menjadi repetisi kisah tak baik.

Perihal kisah ini,
dan bait yang masih kita susun rimanya.
Mengenai kita, dua yang percaya pada apa yang tak biasa.
Mengenai kita, dua yang mengingkari keterjebakan langit gelap, dan berusaha saling menggenap dalam kisah yang saling melengkap.

Sabtu, 21 Mei 2016

Langit dan Laut

Menjadi pasir tuk kau genggam dengan erat,
meski tercecer dari khilaf jarimu merapat,
tak mengapa,
karena bersama kamu harus merupa laut,
menjadi tenang dalam debur ombak,
berenang melawan arus rasa menyesak,
menjelma menjadi senja yang berusaha tak meledak,
meranum tanpa bisa teraih riak laut mendebur,
berusaha tak hilang bersama waktu yang mengabur,
menjelma kisah tak rangkap yang malu-malu diretas rasa tak akur.

Rabu, 18 Mei 2016

Menyimpan Tanya

Kita, dan langkah yang berusaha tak tergesa.
Menyimpan kapan, apa, mengapa dan bagaimana.
Berusaha menjalin rutin, dengan ketabahan tuk tidak mengasing.

Apa kah kita cukup dahaga, tuk saling mengisi periuk sepi masing-masing?
Apa kah kita cukup kelaparan, tuk saling menyuapi kehampaan masing-masing?
Apa kah kita cukup saling terluka, tuk saling mengobat, menjadi lekat, tanpa terjebak dalam lelangit pengap?

Apa kah, kan berakhir sebagai simpanan tanya?
Dan kita hanya dua yang mengikuti waktu dan angin berlari,
berusaha tak menjadi misteri, meski tak tau cuaca esok hari.

Sabtu, 07 Mei 2016

Dua yang Ganjil

Pada senja yang ganjil,
di hari yang terlalu padat untuk dihabiskan,
terlalu lengang untuk dirasakan.
Pada sebuah kedai tak asing,
di waktu yang terlalu terang untuk diramaikan,
terlalu temaram untuk dibubarkan.

Tersimpan dua di antara sekian.
Menyendiri dalam bingar tak hingar, sepi tak sunyi.
Larut dua dari mereka dalam hening masing-masing,
seolah diam tak habis dikulum, lamun tak lepas diurai dari kusut.
Percakapan tak lahir sore itu,
terlalu prematur,
sementara tumpuk tanya tak lengkap tak ingin hidup dalam inkubasi,
atas dasar keterburuan waktu.

Dua yang tak saling tahu,
terlalu sibuk tuk sekedar merapat,
terlalu singkat tuk mencari cara merekat.
Dua yang bingung menamakan,
saling mencari dalam keserakahan tahu satu dan lain,
menjadi cerita yang gagap untuk dituliskan,
menjadi langit dini hari yang dingin dengan ribuan kemungkinan.

Dua yang menebak makna atas ketetapan dan jalan,
lahir dari ketidak sengajaan,
tumbuh perlahan dari cakap diam-diam,
besar dan dewasa dalam penantian;
dengan segala harap akan pengulangan senja yang genap,
rapat dan rekat,
di sebuah kedai tak asing,
tanpa harus mengulang asing.

Minggu, 01 Mei 2016

Tanpa Laku

Menjadi laut tenang.
Menjadi riak-riak kecil yang pasrah dihempaskan kemana angin bertiup.
Menjadi kapal kecil yang tak berlayar, 
hanya menjangkar pada dasar lautan tak bernama,
menikmati tarian ombak.

Menjadi langit pukul tiga.
Menjadi titik tak siang juga tak sore,
tak terik juga tak teduh.
Melayang di antara awan angan dan nyata daratan,
menjadi penikmat tanpa laku dan hasrat.

Menari tanpa iringan musik.
Membaca tanpa barisan kata dalam buku.
Melangkah tanpa tuntunan peta.
Menjadi jeda, tak membuah kata, tak menutup barisan menjadi titik.

Aku,
dan sikap tuk tidak berlaku.
Menjadi asing di antara lalu lalang pinggiran jalan.
Menjadi asap tembakau di antara kumpulan percakapan.
Belajar tuk tak memilih, melepas, maupun menunggu
.
Menjadi laut tenang pukul tiga yang mengisi ingin menjadi penuh.
Menjadi diri yang mengutuh.


Minggu, 24 April 2016

Gadis

Di luar hujan sedang deras derasnya
Para penyair sibuk menoreh lukanya untuk dituang menjadi puisi terbaik mereka
Para hati sibuk mencuci rindunya pada genangan genangan hujan di teras mereka

Tersebutlah seorang gadis yang sibuk bersembunyi di tirai duka,
seolah jerat muramnya begitu dalam
Sibuk ia menyulam kenang menjadi beribu paragraf panjang
Melupa ia pada rekah matahari di pelataran rumahnya
hidup ia pada pelarian-pelarian suram tanpa jawaban

Padahal sudah hampir mekar semaian sedihnya membuah langit cerah
Atas nama pecandu sendu, sampai kapan kan dikarang cerita keterjatuhan dan ketersesatan malam?
Sementara semesta terus berputar,
dan jawaban sudah dihadiahi tuhan

Kepada limbungmu, gadis penikmat luka
Melepaslah dan melangkahlah
Merebahlah dan menetaplah
Pada kebun semaianmu beratap lelangit biru
Kuburlah segala ragu pada aroma baru

Karena di luar hujan tak terus deras semalaman
Karena penyair tak mendamba luka tuk meramu karangan
Karena terasmu tak lagi hujan,
beranjak lah

Senin, 18 April 2016

Secepat ini kah aroma kehilangan menyeruak menusuki keheningan?
Begini kah kematian kita digariskan tuhan,
tanpa nama;
seperti makam tanpa nisan di hamparan yang terbuang.
Dipasung diam, dibungkam kenang,
berlayar kita tanpa penjuru yang sama.
Terjebak kita pada gelap tatap,
sementara punggung terlampau dingin tuk dihangat ratap,
sementara langkah terlalu berlari tuk disusul derap.
Begini kah kita dimatikan?
Begini kah ketersesatan kita ditamatkan?
Begini kah keengganan kita dirumuskan tanpa sekejap menetap?

Sabtu, 16 April 2016

jika

jika,

hujan tak kunjung usai membasah asa;
pada waktu yang melingkari punuk kita dengan ketidak pastian rasa,
pada susunan kata yang mengakar diam di antara kerongkong kita,
pada keterengahan kita mencari langkah irama senada,

dan hanya jika,

awan menggelayut lesu menyulam kelabu;
pada jatuh ragu kita akan kekekalan debar satu,
pada ketersesatan perjalanan kita akan tuju,
pada kelalaian kita akan kutukan permainan waktu,

dan,

akan hilang kah kita,
jika hujan tak mereda dengan segala petir dan selimut gelapnya,
akan hilang kah kita,
jika ke antah berantahan paragraf ini terlalu dini ditentu cuaca,
akan kah,
jika dan hanya jika;
kita mati terlalu dini,
pada kening lelangit masing-masing,
menjadi musim yang tak dikenang dan saling mengasing,

akan kah?

Jumat, 15 April 2016




Bolehkah ku namai kau senja yang mengabu?
Dengan segala rona hangat berlarut ragu,
dan bau kecemasan akan berlalunya waktu?


Minggu, 21 Februari 2016

menetaplah


pagi sudah setengah siang,
hanya ada kita, diantara diam.
menyesap keheningan, yang enggan pecah dengan obrolan panjang.
berjalan kita pada setapak tak bermuara,
dengan langkah yang kebingungan untuk mengayun padu,
terlalu banyak  sekat yang memilih untuk saling tidak tau.

dan punggungku sudah kaku menghadap terik harapan,
hanya sesekali kamu mengguyurnya dengan hujan.
dan tubuhmu memilih dingin yang tak harap ku kenal,
hanya karena lelahmu menyusuri ketersesatanmu pada rumitku.

terengah kita pada keasingan temu,
dan hilang timbul debar beradu,
akan kah langit memilih mengabu?
meninggalkan kita di tengah ragu pada apa yang satu?

padamu,
dan tenggelamku pada ketersesatan laut kata,
akan kah ini tak akan kemana?

lalu jika ini tak menjadi cerita bertitik,
mau kah tuan sekedar ada dan menyumbang beberapa baris kata,
agar ku lanjutkan sendiri alurnya,
seperti apa yang dirasa kemarau dengan percikan hujan.
tetaplah ada, meski dengan ketiadaan,
tetaplah berirama, diantara sunyi dan riuh pikiran,
tetaplah berpegang, dengan segala mungkin yang akan terlepas,

meski kita adalah dua yang lengah dan lelah,
di antara keterombang-ambingan maksud tuhan,

tetaplah,
menetaplah.