Sabtu, 09 November 2013

Lingkar.

Apa yang paling ditakutkan pemanjat tebing pada dakian adalah apa yang paling diingankan seorang kamu untukku.
Jatuh.
Padahal panjatanku sudah cukup tinggi untuk menemukan tebing layak demi menghabiskan sisa sore kita, tapi kamu masi sibuk menarik tali pengamanku untuk jatuh menujumu.
Entah kamu seperti pelukis yang mendambakam esensi, dan keterjatuhanku seolah titik pusaran segala pencarianmu pada labirinku.
Padahal isap rokok tak disulut pun seharusnya lebih abadi dari apa yang berusaha kamu abadikan pada kita, tanpa harus menimpaku batu batu beban agar jatuh tersimpuh patuh.
Padahal aku sudah cukup menggulung pagi untuk menolak aroma lain selain kamu. Tapi rupanya bekalku tak cukup untuk membebani timbang ragumu, tetap membuatnya berayun lalu menyisa mual yang perih di apa yang kamu bilang rasa.
Lalu apa lagi perihal rasa yang entah semakin jauh hilang dari kosakata yang mudah kita mengerti? Semakin rumit seperti sajak sajak penyair buta huruf yang tak sampai maksudnya.
Dan kita seperti bait menyambung bait beruntun, kadan runtun lalu tak sambung, berulang hingga kita hafal alurnya.
Alur cerita yang gagap menemukan akhir yang pantas, agar tak lagi diretas oleh segala kamu dan ragu ragamu.

Minggu, 27 Oktober 2013

Pertanyaan tanpa jawaban.

Saat langit langit mimpi semakin menjauh dari ketergapaian,
dan dinding berpigura ambisi ambisi kecil mulai meluas,
lalu lantai kayu ini mulai jauh dari keseimbangan,
meninggalkan gadis di atas tempat tidur yang meringkuk goyah di antara lengang.

Ruang ini sesak dengan balon balon mimpi yang ditiupnya sedari kanak,
dan gadis ini mulai kewalahan dan lelah meniup, membenci lengang realita yang berusah dimuntahkan dari mual rutinitas, lalu letih dan mulai tergoda realistis untuk menelan ikhlas,
memecah balonnya satu persatu, mencari maksud dari kebimbangan dan segala yang tak terwujud nyata.

Lalu ruang ini terbelah, separuh lengang dengan balon balon menipis di permukaan lelangit kamar, menyisa tanda tanya besar pada tuhan.
Ada ragu yang tersendat di pusat pikirnya, diantara mimpi yang semakin jauh dan nyata yang begitu dekat dipijak dengan segala getir.
Ada bimbang yang begitu jelas terpantul di matanya, tentang menerima kebencian dan menjalani tantangan mimpi tuhan, dengan sisa separuh akalnya, terperangkap dalam tubuh kebingungan,

melahap segala pertanyaan alam,
tanpa jawaban.

Jumat, 19 Juli 2013

selaras

kekosongan tercetak jelas pada gelayut hitam kantung matamu,
lalu disusul hitam pupilmu yang menelan pantul maya tak nyata pada apapun di hadapanmu,
dan geming mulutmu yang sebisa mungkin membuat sunyi terisi penuh dengung kekosongan pada telingamu.

ada pilu yang berusaha kau telan mentah mentah, tapi ia masih tersangkut di kerongkonganmu, dan selalu dapat kulihat bayangannya tepat di bawah jakunmu, menolak hilang dalam telan susah payahmu.

ada tenang yang kosong berdesir di nadi pergelanganmu. satu hal yang selalu bisa mengimbangi ramai keluar masuk bayanganmu dalam sel sel otakku.

langit tertidur pulas menunggui kita saling bersandar menceritakan keluh masing masing.
terlalu banyak yang harus kita selaraskan; langkah, genggam, nafas.
sementara waktu terus beradu, memukuli jejak kita yang menipis di setapak belakang.

dan hangat ini berat menyeret langkah kita agar tak terlalu cepat,
meminta memori ditulis lambat lambat,
agar lebih kuat tertambat,
di bongkah dada kita masing masing hingga jauh dari tamat.

Minggu, 14 Juli 2013

hiruk pikuk hidup

apa yang lebih kejam dari induk mimpi? -pembual dengan iming iming kembang gula dengan seribu luka di dalamnya-
sebut ia tuan realita.
berperawakan besar, dengan tangan tangan kurus dan jemari panjang yang siap mencabut tulang belakangmu dengan lantang, hingga mustahil tegak menatap langit kala petang sehabis perang.
ia petarung tanpa ampun.
lalu mimpi adalah sasak tinjunya untuk mengasah balutan otot kekuatanmu.
sejauh mana kita masih mampu menengadahkan tangan dan menatap matahari setelah babak belur dihempaskan nyata.
lalu apa yang membuat kita tetap hidup pada hidup?
serentetan induk mimpi dan tuan nyata yang berkali datang bersamaan,
dengan atau tanpa bergandengan tangan,

seperti yang selalu kita inginkan.

Jumat, 28 Juni 2013

mengawasi dalam diam

aku mengawasimu dari jauh.
dua pasang mata yang paling ku kenali, sedang membereskan pecahan cangkir yang jatuh dan pecah di ruang tamu.
angin terlalu kencang, dan aku lupa mengingatkanmu untuk menutup jendela, sementara kamu asik larut dalam buku fantasimu, hingga akhirnya angin menggoyangkan tirai, menyenggol vas bunga lily dan mendorong cangkir berisi teh dengan genangan bunga melati segar tumpah sore ini.
kamu masih perempuan yang ku kenali selama beratus ratus perputaran matahari.
kamu dengan tabah memunguti pecahan pecahan cangkir yang berserakan seperti bongkah kosong hatimu.
tanganmu cekatan menghindari tajam, seperti terlatih untuk menjauhi luka.
aku mengawasimu dari jauh.
berjalan membawa kantong berisi beling ke arah dapur.
melewati anjing kecil yang sedari tadi melolong ke arah tempatku berdiam.
kamu melewatinya dengan acuh, menyuci tangan dan merebus air untuk teh yang tak sempat kau minum.
rambut ikalmu kau ikat ke atas, lengkap dengan beberapa helai yang jatuh ke lehermu.
sementara radio yang sedari tadi memutar lagu bahagia tenggelam dan berganti lagu kelam.
matamu kosong menatap gelembung air yang mendidih di atas panci.
jangan lagu ini, pintaku.
angin di luar masih kencang berhembus, gorden berusaha menahan diri untuk tidak larut berdansa pada lagu kematian yang sedang berdendang di ruang tengah.
kamu masih termenung menatap kosong ke arah air mendidih.
hening.
hanya suara radio yang semakin mencakar cakar gendang telingamu.
matikan.
kamu masih larut dalam kosongmu, menatap diam ke arah panci berisi air mendidih yang semakin habis menguap.
terhipnotis dalam diam, layaknya anak kecil yang terpaku pada sulap di pasar malam.
angin masih kencang di luar.
gorden mulai bergoyang mengikuti hembus angin akhir minggu, menyenggolku perlahan.
air di panci sudah habis, dan mulai berasap.
kamu masih terdiam.
PRANG!
kamu masih dalam lamunmu dalam.
anjing kita menyalak dan menarik ujung bajumu.
seperti tersentak,
kau dengan tergopoh gopoh mematikan kompor.

matamu adalah langit cerah yang aku kenal sejak pertama kali kita bertemu.

kamu tergopoh mematikan radio yang mulai melanjutkan lagu lagu penyayat sore lainnya.
kamu tergopoh lari ke ruang tamu,
menatapku iba,
dengan dua mata tercerah yang selama ini ku temui, dulu.
kamu masih menatapku dengan bibir tertarik ke bawah,
dua mata yang tak lagi ku kenali, sekarang ini.
katamu satu satunya yang bisa memupuk matamu bersinar adalah suaraku menyanyikan lagu favoritmu,
lagu favorit kita, yang selalu kita dengar di radio pada senja berangin di akhir minggu.
matamu berkabut, mulai menitik gerimis gerimis yang paling ku benci.
aku ingin bernyanyi, seperti yang selalu ku lakukan untuk meredakan air matamu,
namun aku bisa apa, saat untuk menggoyang badanku pun aku tak bisa,
saat memanggilmu untuk sekedar mengingatkan menutup jendela pun aku tak bisa,
saat tubuhku hanya abadi dalam selembar foto bergandengan denganmu,
foto terakhir kita, yang kau abadikan dalam sebuah pigura kaca,
di ruang tamu kita.

jangan sedih.
kataku perlahan, saat tanganmu sibuk membersihkan pecahan pigura, tempatku berdiam.

Kamis, 27 Juni 2013

sandiwara

ia merapikan kartu tarotnya, menyusunnya dalam setumpuk kebohongan berkaret bualan.
dihapusnya kutek dan maskara tebal yang menguatkan dustanya; untuk berbicara apapun seingin mulutnya memuntahkan ke-sok-tahuan, di bawah kebenaran supranatural.
ia masukkan bola kristalnya ke dalam kardus di sudut ruang,
pasar malam sudah dikadaluarsai pagi, dan segala ketidak sungguhan sudah penuh diucapkannya semalaman pada beratus tangan tangan menengadah pasrah, meminta dibaca akar urat nasibnya.
ia melepas gulungan rambutnya, membersihkan gincu merah dan segala atributnya.
katak katak di dalam gelas kaca ia lepaskan lagi ke danau di belakang tenda bermukimnya.
kucing hitamnya ia mandikan hingga luntur kelamnya.
ia berbaring tenang, dan berusaha tertidur dari dentang ke dentang jam gantung.
punggungnya bolak balik gelisah.
insomnia di siang bolong.
perutnya keram menahan gelak yang tak berani diumbarnya dalam tawa terbahak.
menertawai mata mata lusuh lapar pengharapan, haus kotoran kotoran terbungkus bijak, dan melolong berkeliling kota dengan dada robek dan mengais segala harapan yang dilemparkan padanya.
berpuluh puluh manusia putus asa yang tersesat ke tenda ramalnya,
membayarnya penuh untuk melempar daging daging bualan busuk ke mulut mereka, dan mereka santap dengan kepala terangkat sekeluar dari itu.
perutnya keram, tapi akting harus terus berjalan,
karena bualan harus ia siapkan dengan semangkuk penawar tawa  untuk setiap pelanggan yang berhasil diperdayanya.

---

ia berjalan sendirian diantara kerumunan orang orang yang sibuk merapikan dagangan sisa semalam.
beberapa orang melempar pandangan padanya, yang tak dia balas barang sebuah toleh sekejap.
beberapa lagi berbisik ingin tau dengan lirikan penuh tanda tanya menggantung.
ia mempercepat jalannya, hingga tiba di sebuah gang sempit di ujung kota.
ditukarnya baju lusuh dan segala coreng hitam di bawah mata sayunya.
sambil meneguk minumannya ia bersandar dan merenungi semalam.
sebuah tenda ramal yang menarik perhatiannya berbulan bulan di pasar malam.
dan sebuah malam yang ia sempatkan untuk menjual kepercayaannya pada bola kristal dan tunjukan jari seorang peramal tua pada garis tangannya.
perutnya menahan tawa getir.
peramal tua dengan mata berkerut yang membaca gurat gurat masalahnya, masalah yang ia kumpulkan dalam bual mata layunya.
ditahannya tawanya agar tidak meledak di akhir ia keluar dari tenda tersebut, untuk satu orang yang terperdaya dan susah payah mengurai benang masalah yang ia kusutkan pada cerita cerita kebohongan.

---

dan hidup hanya berjalan layaknya panggung megah berisi pemeran pemeran bertopeng yang menjalankan naskah, saling mengisi butuh dan melumuri badannya dengan bualan setiap harinya, berperan semata mengenyangkan senang antar sesama.

bahagia berkabut tragis, yang menyamarkan tulus di atas segala kepentingan semesta.

Mimpi mimpi karam

Banyak yang tidak diketahui sejumput otak kecil menganga yang masih sibuk menampung maksud langit di keningnya. Tentang pertanyaan pertanyaan tak terjawab tentang mimpi balon udara yang ia lambungkan dan tidak didaratkan tuhan.
Banyak tanya tentang eksistensi mimpi pada telan susahnya pada realita yang tak dijabah nyata.
Ada begitu rekah mimpi di matanya yang ia nina bobokan pada lelap setiap malam, bertahun tahun, pada langit yang sama.
Tentang mimpi yang ia susun dari balok balok harap dan coret berlembar lembar tembok di hadapannya, tentang debar yang begitu gema pada kosong bergelas gelas ingin yang tak penuh penuh.

Katanya, seorang laki laki laut pada senja keberapa yang ia lupa asal temunya, mimpi adalah pengharapan hidup yang menggerakkan sampan hidupmu, lalu letakkan ia sebagai jangkarmu, biarkan jatuh hingga menancap pada ruas dasar laut yang ingin dituju.

Lalu jangkar ini ku berati dengan bergram gram pasir mimpi semalaman, lalu sampan ini terus bergerak ke arah angin yang tak sama, menjangkar pada apa yang tak diucap mimpi pada bermalam malam sebelumnya.
Lalu lautku goyang.
Sampanku mengambang tak mengarah pada utara.
Lalu nelayan ini tersesat pada mimpinya sendiri.
Menumpuk tanya pada adanya tuhan,

pada setiap mimpi tak terjangkar diam.

Rabu, 26 Juni 2013

dari tumpukan tak terambil

matahari menggantung malu malu di depan pintu kamarmu.
sinarnya bahkan tak cukup kuat menarikmu dalam keterjagaan.
aku menyeduh teh di sudut ruang kamarmu, menarik selimutmu dan menyibak gorden lusuh di depanku,
duduk menghadap jendela dengan segelas teh melati, menikmati pagi dengan selembar sajak buatanmu semalam, menggoyangkan kaki merabai mekar mekar bunga matahari di bawah jendelamu.
menamatkan tatapku sebelum kamu terbangun.
sama seperti beratus ratus pagi sebelumnya.

bulan duduk duduk di beranda kamarmu.
tangannya sibuk membolak balik koran tadi pagi, bersiap terjaga menemanimu menulis sajak hingga esok pagi.
aku duduk di sudut gelap ranjangmu, mengamatimu berkutat dengan pena dan lembar kosong di hadapanmu, dengan sebatang kretek yang baru kau nyalakan.
gramaphone tua mendendangkan lagu favorit kita, kakimu tak bergerak sama sekali, barang mengikuti irama nada nada yang kita hapal di luar kepala.

tidak ada ucapan selamat malam,
tidak ada percakapan pembuat malam kita kekal tanpa lelap,
tidak ada tatap seperti malam malam sebelumnya.

matahari tetap benderang di matamu, hanya terlalu silau untuk menangkap bayanganku di seberang.
bulan tetap temaram di matamu, hanya terlalu gelap untuk mendekap bayanganku di belakang.
lalu kamu acuh pada setiap jejak kakiku yang membekas di setiap senti lantai kayu kamarmu.
lalu aku menjelma ilalang di berandamu, jam dinding tua di kamarmu,
melakukan semua kebiasaan kita,
dan menolak lupa pada ratusan hari di belakang kita, sendirian.


katamu aku tak seharusnya jatuh pada kenangan,
katamu kita sudah terlalu jauh untuk sebuah peluk selamat malam,
katamu kita sudah terlalu jauh dibatasi dingin tanah merah,
dan aku yang sudah kau selimuti harum kamboja,
dan kau tidurkan dalam tenang, beserta pemakaman peti peti kenangan,
tak seharusnya kita merayakan yang sudah terkubur rapi,
tak seharusnya kita merayakan kebersamaan semu,
katamu,
 pada aku yang sudah terbujur mati dalam ingatanmu.

Sabtu, 15 Juni 2013

mimpi mimpi terbunuh

ada berjuta bulir hujan jatuh menimpai mimpiku yang mekar,
satu diantaranya tajam merobek lapisan terluar langit kepalaku,
sisanya memukuli tengkorakku hingga lubang,
sebagiannya menerobos masuk menuju labirin labirin otakku, memunguti mimpi, membopongnya keluar, dan membakarnya tepat di depan dua pupil mataku, hingga hangus.

Minggu, 09 Juni 2013

perahu tua yang menolak karam

hujan sedang deras derasnya pada langit kita,
ibu bulan menangis tersedu melihat kita terombang ambing anak lautan,
sementara badai menerjang kapal dari utara,
mendorong kita mundur pada waktu saling mengasing luka.

kapal kita tak pernah karam tuan,
setidaknya kita selalu berusaha.
kapal kita tidak pernah karam tuan,
setidaknya kita masih dalam gandeng erat kapal reyot ini,
berusaha tidak karam,
dari ombak waktu dan jarak yang semakin melara.

titik hujan dan labirin tak berpintu

mungkin aku adalah sepi yang kau tunggu di keramaian
kursi tua nyaman yang kau cari dalam sesak pasar malam
seteguk air yang kau cari pada kerontang kemarau
kabar baik yang kau tunggu dari televisi yang mengasapkan berita duka

mungkin aku peta yang tak lelah kau telusuri
mungkin aku jalanan kosong yang tak lelah kau cari ujungnya
tanpa kompas, dan menikmati setiap ketersesatanmu disana

kisah ini labirin rimbun dengan setiap kejutan di persimpangannya
tanpa ketenangan
kisah ini labirin rumit dengan banyak cabang yang kau tak tau akhirnya
tanpa perhentian

kalau kisah ini adalah labirin rimbun,
kalau kisah ini adalah labirin rumit,
maka biarkan aku meminta kisah ini hilang dalam pencarian,
karena pintu keluar hanyalah pemisah,
dan dunia luar terlalu berbahaya bagi kita.

kalau aku adalah petunjuk yang kau cari untuk keluar dari perjalanan ini,
karena lelahmu,
karena ketidak adaan aku dalam sunyi senyap perjalananmu
lihatlah titik hujan yang masih menempel di luar jendela,
dan doaku yang tersangkut dari ribuan itu,
mengawasimu dalam diam,
sampai kau benar benar terpejam,
setiap malam.


Kamis, 30 Mei 2013

Jarak dan Sajak yang Mati Sebelum Dituliskan

Dari sekian waktu yang bergerak maju
aku kehabisan kata untuk dituliskan dalam lembar sajak baru
karna kamu tahu?
hanya baris baris sajak setia menunggui aku di kepalamu.
Sementara bayanganku semakin kabur dari pupil matamu
dan debar kita terlalu temaram untuk sebuah temu
dan jari jari kita bersusah payah memeluk punggung masing masing:
merapatkan jarak yang merenggang,
membiarkan kita saling menguatkan sandar masing masing.

Lalu kita tak beda dengan sebuah wacana.
Terlalu jauh untuk sebuah temu sore di kedai kopi langganan kita.
Terlalu maya untuk membuat dekap dekap hangat pada lataran senja.
Terlalu khayal untuk menjelma kita saat berpijak pada waktu yang sama.

Ingatkan aku, menuliskan sajak sajak kita pada jarak
menancapkan ingatanmu pada jalan jalan kosong di keberadaanku,
agar sesak ini tersusun rapi menyusun lengang; untuk kamu telusuri setelah aku pulang.

Selasa, 07 Mei 2013

tenggelam

hari merobeki hari, menghitungnya maju tanpa kita kehendaki.
sementara jam pasir tidak mau menyumpal kandung kemihnya untuk tidak mengencingi ruang pasir di bawahnya, yang semakin lama semakin menenggelamkan kita.
ketenggelaman terdalam pada palung rasa kita masing masing.

aku mengikat kuat tangan kita yang bergandengan erat-dengan rantai beribu gembok yang kehilangan anak kuncinya.
sementara kaki kita ku pasung pada jangkar yang tunduk gravitasi dan jatuh mencium dasar laut kuat.
aku mengekalkan kita pada selimut laut yang luas dan dalam,
seperti rasa yang menjadi gelombang pasang pada rongga masing masing,
sunyi dasar laut gelap yang terpantul pada pupil kita masing masing,
dingin senyap laut malam yang terraba dari jari jari beku kita masing masing.


ada banyak ketenggelaman yang menyisa duka,
dilarung menuju  kehilangan tak bertuan.
dan  hanya dengan kamu, 
ketenggeleman menjadi damai laut tenang, 
dengan kesedihan dilarung jauh tak berpulang.

Minggu, 28 April 2013

bulan merah jambu


bulan sedang merah jambu di luar, terpantul pada dua matamu.
dua mata yang sedang menatap dalam pada pupilku.

ruangan ini sedang ramai ramainya, sekumpulan orang memasung mata mereka pada layar yang menayangkan pertandingan bola, pelayan mondar mandir, kepul asap rokok, bir tumpah, suara obrolan yang menggema memenuhi langit langit.
kita duduk berhadapan pada sebuah sofa persis di tengah tengah ruang. malam hampir larut, mataku sudah agak mengantuk-tapi ia bengal, tetap memaksa menggelayut pada tatapmu.

bulan sedang merah jambu di luar, terpantul pada dua matamu.
dua mata yang sedang menatap dalam pada pupilku.
bulan merah jambu yang memiliki magnetnya sendiri untuk menolak segala distraksi yang ada di ruangan ini.
kamu masih menyanyikan lagu lagumu,
lagu dengan lirik yang familiar karena sering kamu kirim sebelum dan sebangunku tidur.
lirik lirik yang selalu menggelitik ujung ujung bibirku untuk tersenyum tiap harinya.
katamu aku ide terbaik, dan bagaimana lusinan kupu kupu tidak bergesekan senang pada perutku jika semua lirik itu tentang aku? dan kamu tentunya.
kamu meneruskan nyanyianmu pada bait bait baru. bait bait yang menggantung di garis garis dahiku yang bingung.


......langit tetap biru, tuan.
matahari tetap kuning keemasan.
hujan tetap tajam memasung kenangan.
kaki kita masih tetap melangkah bersamaan, beriringan.

sebuah lagu dari tulisanku untukmu.
lalu gelakku tumpah begitu saja bersamaan dengan air mata kecil pada sudut sudut mataku.


bulan sedang merah jambu di luar, terpantul pada dua matamu.
dua mata yang sedang menatap dalam pada pupilku.
bulan sedang merah jambu tuan, terpantul pada dua matamu.
dua mata yang membuatku ingin jatuh berkali kali dan tenggelam di sana,
hanyut selamanya.


Sabtu, 27 April 2013

tanah lapang dalam kepala

Saya suka caramu berlarian dalam kepala saya.
Memungut serpih serpih kesedihan yang tersisa disana.
Memastikan tak ada gerimis kecil yang jatuh lagi.
-
Saya suka caramu berlarian dalam kepala saya.
Meninggalkan jejak senyummu disana.
Mengisi tiap ruas sel otak saya dengan senyum kita.
-
Berlarilah terus.
Saya suka setiap jengkal memori saya yang terisi sesak akan kamu,
bahagia yang berusaha saya bekukan lama lama.
--

penyair kikir dan puisi terbaik

kalau ini perihal sajak pena dan kertas,
maka aku menyebut diriku sendiri penyair kikir,
dan kamu adalah puisi terbaiknya yang disimpan rapat rapat,
dan dibaca ulang dengan syahdu pada bisu malam.

--

Sayangnya waktu tidak pernah tunduk,
setia merobeki tanggalan, menggilas jarum detik menit,
menyisakan kita yang berusaha mengekalkan senyum dan rasa masing masing.

Jalan kita sudah melewati lorong ke dua tuan,
 mari mempererat genggam dan saling hilang pada peluk erat bermalam malam, 
menuju perjalan panjang yang tak ada tamat pada lorong lorong berikutnya.

Kamis, 28 Maret 2013

-

langit tetap biru, tuan.
matahari tetap kuning keemasan.
hujan tetap tajam memasung kenangan.
kaki kita masih tetap melangkah bersamaan, beriringan.
layu mataku masih tetap menyukai bayangan dan senyummu tertahan.
lelahku masih tetap mencandu pundakmu untuk menggantung harapan.
segala kekacauanku masih tetap membutuhkan pelukmu untuk membenamkan kecemasan. 

langit tetap biru, tuan.
kita masih punya beribu hari di depan untuk dilahap perbincangan, senyuman, dan pelukan pelukan dalam diam, dalam tenang.
dan terimakasih, untuk tiga puluh pertama ini, 
untuk segala pagi hangat; tanpa cemas genggam kita akan terlepas,
dan untuk segala malam tenang; tanpa takut esok kita terbangun menjadi dua asing yang saling dingin.
terimakasih,
tuan.

Sabtu, 16 Maret 2013

--

menebak acak dadu yang keluar dari cangkir semesta,
dengan menahan harap.

karna terkadang, 
yang tak tersebut dalam doa, bisa jadi hadiah yang dijawab tuhan dalam diam dan ingin kita yang terpendam dalam.

Rabu, 27 Februari 2013

stasiun dan kereta tua



aku kereta tua yang lelah berputar mengelilingi kota,
lelah mengikuti takdir rel rel besi yang mengikatku menuju pertemuan pertemuan kesekian,
kamu tahu,
manusia tak bisa menolak pertemuan,
pun memilih dengan siapa dia diberhentikan.
dan aku lelah berbenti di stasiun stasiun yang salah.
stasiun sepi dengan dinding dinding dingin yang acuh.
kamu tahu,
manusia tak bisa menolak pertemuan.
tapi ia bisa memilih untuk bertahan berlama lama pada satu pemberhentian.

dan dititik ini rel semesta menuntunku untuk berhenti di kamu.
entah stasiun ke berapa yang menjadi tempat singgahku, menaruh lelah dan mengisi hangat.
entah stasiun terakhir atau bukan,
tapi kereta ini berhak memilih untuk singgah lebih lama,
karena tau stasiun ini menunggu dengan tabah dan siap menjadi pengobat lelah.

Sabtu, 23 Februari 2013

gudang

pagi ini saya duduk berlama lama di gudang.
mengamati kardus kardus dan tumpukan barang barang di setiap sudut ruangan.
barang barang itu bukan cuma sudah tidak dipakai, beberapanya hanya disimpan karena tidak cocok lagi diletakkan di luar, beberapanya juga disimpan karena penuh; tidak ada tempat baginya di luar.
barang barang ini hanya melewati masa sortir, penimbangan dimana seharusnya mereka diletakkan.
barang barang ini juga tidak dibuang, hanya dipilih untuk disimpan dan disisihkan, meski beberapanya bukan tidak mungkin memiliki kenangan, dan memiliki masanya sendiri berada dalam pilihan dimana mereka dipertahankan di luar; tidak dikemas lalu menjadi onggokan di ruang peyimpanan.

lalu satu yang melintas di kepala saya;
bukankah hati itu sebuah rumah, dengan gudang di dalamnya?
rumah tidak mungkin memiliki semua perabot yang penuh berjejalan di ruangan ruangannya.
rumah butuh kelapangan, oleh karena itulah kita sebagai pemilik melewati masa memilih, dan memilah, mana yang masih ingin dipajang di luar, mana yang harus disingkirkan; disimpan.
bukan karena tidak memiliki kenangan, tapi karena waktu membawa pada perputaran, dimana perubahan adalah mutlak, dan diatur oleh semesta, diinginkan ataupun tidak.
dan kesalahannya ialah; saya bukan orang yang pandai memilih, memilah, mengemas.
rumah ini sekarang penuh sesak dengan segala perabotnya yang menghimpit saya satu persatu hingga sesak.
sementara gudang kelaparan, kosong, tak terjamah atas dasar egoisme yang membunuh saya perlahan lahan.


saya butuh ruang yang lebih luas,
tuhan.
karena saya benci gudang; tempat dimana kenangan kenangan diendapkan,
lalu tuhan tertawa keras, dan menolak permintaan saya enggan.


Selasa, 19 Februari 2013

tanpa judul

jangan ragu,

tuhan masih menyimpan skenario terbaik untuk setiap ruam ruam ketidak adilan yang kita pertanyakan, tuan.

Senin, 18 Februari 2013

fase



dari berbagai cerita sepenggal sepenggal tuhan menitipkan pesan, untuk belajar merasa firasat alam dengan lebih peka, menimbang rasa abstrak dengan akal, mengunyah pahit realita tanpa mengernyit dahi, melubangi hati dan memupuk luka sendiri.
dari berbagai cerita sepenggal sepenggal tuhan memberi pelajaran, untuk berteman dengan waktu hingga tahu kapan saat yang tepat untuk berkemas, memungut mimpi dan menyimpan harap pada koper koper penyimpanan. menyudahi perjalanan. belajar melepas dan melupa.

dan saya terlalu sibuk meringkuk dalam sudut gelap cerita.
lupa bahwa tuhan juga mengajarkan membunuh suram, melipat muram, dari lenganmu yang merentang lebar menjadi pengobat.
saya lupa cara menaruh lelah dan memasang binar, setelah lama berjalan, meluka dan mengobat sendiri. lalu serta merta, menolak semburat merah jambu dengan menumpuk selimut selimut ragu, mengubur benih kupu kupu yang mulai menggesek rongga perut kelabu, menyimpan hati hati-hati dalam palung paling tak terjangkau dari yang kamu tau.



dan di fase ini,
satu yang belajar untuk tidak saya lupa, dari berbagai cerita sepenggal sepenggal yang diciptakan tuhan;
untuk berterimakasih pada waktu dan semesta,
dengan menerima segala konspirasi baiknya: yang mewujud kamu.

Sabtu, 16 Februari 2013

-asing-

gravitasimu belum juga habis.
cerita menjadi semakin miris.
tuhan menulis skenario kita menjadi kisah ironis.
gravitasimu belum juga habis.
debarku mengunyah dirinya sendiri hingga menipis.
meninggalkan nyonya hati yang meringis.
gravitasimu belum juga habis.
harap dimakan waktu tergerus, terkikis.
kita berubah menjadi dua tokoh tuhan yang tragis,

saling melempar senyum asing, antagonis.

manusia

kita sadomasokis untuk diri kita masing masing.
saling menjatuhkan diri pada lubang lubang luka dan tenggelam di dalamnya.
menikmati rintih,
menikmati lara,
terus terjatuh,
dan berharap hati membuat imunnya untuk menolak sakit yang sama,

..manusia :)

Selasa, 05 Februari 2013

tanpa judul

jangan terburu buru jatuh,
karena kaki saya masih sibuk menghindari pecahan nyata,
jangan terburu buru jatuh,
karena tangan saya masih sibuk menghalau realita,
jangan terburu buru jatuh,
karena mata saya masih sibuk memburamkan cerita,

jangan terburu buru jatuh,

saya masih sibuk menikmati semua lara ini, tuan.

Rabu, 23 Januari 2013

'home' sick

saya benci ketika semesta berkonspirasi mempertemukan lagi ingatan pada kehilangan kehilangan yang saya sengajakan, dengan sebuah kebetulan,
seperti suatu senja dan hujan hari itu,
saya benci dan mengutuk diri saya sendiri, ketika harus jatuh lagi pada palung laut matamu, mata yang paling saya hindari pada setiap tatap,
dan segala tumpah ruah memori yang deras menghujan,
tepat setelah saya susah payah membangun tembok tinggi diantara keinginan dan kenyataan.
entah.


mungkin saya butuh lebih banyak hujan,
untuk melunturkanmu, ingatan dan kenangan.

Senin, 21 Januari 2013

{rehat}


tuhan terlalu cepat menyuruhmu masuk dalam roda waktuku,
sesederhana itu aku menyuruhmu menunggu di depan pintu diamku.

tanah lapang

kepalaku masih sedikit basah,
hujan mengguyur terlalu deras belakangan,
dan setapak kakimu masih membekas dalam,
meninggalkan becek bekas larianmu bermain hujan.
kepalaku masih sedikit basah,
persis seperti tanah lapang yang kita lihat sore itu,
tanah lapang dengan sedikit rumput basah karena gerimis semalaman,
meninggalkan dingin dan genangan air mata awan,

mereka; lapangan dan otakku sama sama lengang.

gemamu masih terpantul pantul di bilik kepalaku,
dan setapakmu hanya menunggui hilang ditiup debu,
lalu yang bisa disimpan dari kita hanya setoples kecil kenangan,
kuletakkan mereka di sudut lemari pajangan,
sebagai pelajaran untuk tidak menjatuhkan peluk serampangan, menggantungkan lelahku pada pundakmu sembarangan.


Selasa, 01 Januari 2013

gerimis kecil dan jalan aspal

maaf tuan,
saya  bukan deras hujan yang jatuh menghantam pori keras jalananmu dengan lantang,
lalu menyanyikan kesakitan sepanjang dingin aspal,
berdesakan bersama air lainnya menjadi selimut genangan yang menyesakkan,
dan masuk berebutan ke perutmu melalui lubang dingin gorongan gorongan.

saya gerimis yang menggelantung tua pada awan,
jatuh dengan cemas ke daratan.
memilih jalan termenyenangkan untuk kembali ke lautan.
bukan, saya bukan hujan yang kamu harapkan.
saya gerimis kecil yang lebih suka jatuh perlahan diantara rerumputan,
meski dengan jejak tanah belepotan,
menciptakan petrichor untuk para sajak kesepian.
bukan, saya bukan hujan yang kamu inginkan.
saya gerimis yang lebih suka jatuh menari tengah malam dihangatkan lampu jalanan.
bukan gerimis senja yang memabukkan berpasang pasang para kasmaran.

pun, kamu bukan daratan yang saya ingin sembunyi dalam perutmu bermalam malam,
dinding otakmu terlalu dingin,
saya tak suka berlama lama berlarian di dalamnya,
bahkan untuk sekedar meninggalkan sekeranjang kecup perpisahan.