Minggu, 30 November 2014

kisah

Pada 21 terang purnama yang menaungi kita,
dan hangat malam dengan segala silau redup binar lampu taman,
simpul simpul senyum dengan mekar layu garis bibir kita beriringan,
obrolan panjang hingga tertidur salah satu kita di pundak malam bergantian.

Dan betapa kita mencintai gelap sementara semesta mendamba cahaya,
betapa kita sibuk mencumbu sepi sementara semesta selalu mencari bingar,
betapa kita,
jatuh,
jauh,
mengubur diri dalam kubur kita bersama pada genggam dan peluk dalam,
tanpa matahari,
dan segala hiruk pikuk semesta,
yang sibuk mengacak debar kita,
pada gunduk tanah persembunyian damai ini.

Betapa,
aku tergila pada tokoh kita berdua,
dalam lembar kisah panjang ini,
menghabiskan purnama purnama kita,
tanpa terjebak tamat suatu saat nanti.




Sabtu, 01 November 2014

Mendung yang Gugup



Pada langit november yang urung merintik hujan
Setia pada selimut mendung tak kunjung deras
Pada sebuah sudut ruangan
Yang bersarang segunug remasan kertas
Menjadi bait bait rasa mengendap beban
Tak selaras
Saat dinding enggan menangkap bayangan
Dan aksara terbang mengepak lepas
Meninggalkan sebongkah pikir tak bertuan
Menunggui kebahagian berjalan berbalut cemas
Ada tawa yang khawatir kapan diberhentikan tuhan
Menjadi ketakutan untuk segera berkemas
Entah pada suatu kapan
Berpayung november, dengan damai yang kian meranggas


Senin, 21 April 2014

Semoga alam tidak lupa

Biar ini seperti gerimis
Yang rintiknya jatuh sesuka langit
Pasrah dan hanya mengalir mengikuti angin
Tidak ada harap akan terang maupun deras
    
Biar ini seperti gerimis
Yang perlahan membanjiri kering serambi rumah kita
Dan kita yang lelah menengadah dengan dahaga
Tidak serakah, dan terus berdoa alam tidak lupa

Minggu, 23 Maret 2014

Seumpama

Seumpama senja menjadi jenuh.
Merajut pengulangan pengulangan yang hanya menjadi semu dan hilang;
matahari jatuh perlahan - awan menirai terik menggantinya keunguan - bulan siap berlayar pelan - lalu malam lahir seperti tangisan diam diam.

Lalu,
aku senja yang begitu saja.
Yang hilang tabah rebahnya menanti pergantian malam.

Seumpama,
jenuh begitu mengaduk,
lalu,
begitu saja kita adanya,
hilang perlahan seperti siang yang mati dan malam yang mengakusisi.

Dan menjadi umpama,
tidak ada lagi senja dalam langitmu esok.

                                                          bagaimana?

Minggu, 23 Februari 2014

Perjalanan.

Dahaga.
Seperti musafir.
Pada sebuah perhentiannya.
Tertegun bingung pada pasir di sekelilingnya, akan terik sengat matahari mahsyar, hilang kendali atas apa yang ia pahami tentang perjalanannya.
Dahaga akan diri yang menguap di telan kerontang padang pasir, lalu tersesat dan sekarat dengan bekal mimpinya yang meleleh jatuh bersama keringatnya.
Habis.
Lalu menjadi dahaga besar yang merapuhkan imannya.
Dahaga.

Habis.
Tersesat, sekarat, dengan lepuh lebam yakinnya tentang makna sebuah destinasi.

Jumat, 31 Januari 2014

ramai pasar, dan kita; berdua

lari lari kecil anak anak berbaju kebesaran, dengan tapak kaki telanjang, menyeka ingus yang dilelehi bau matahari siang
lalu lalang ibu ibu berkeringat dengan tangan menjepit dompet dengan receh uang mengintip di sela sela jahitannya, yang sesekali berhenti di tiap persinggahannya, menawar barang semurah harga kebebasan zaman sekarang
sementara para pedagang sibuk mengipasi pancing pancing uangnya; sayur sayur hijau yang layu, ikan dan bongkah bongkah daging yang menunggui nasib terbeli dengan uang atau dicuri kucing dan anjing jalanan
suara becekan terpijak,
suara lalat lalat mendengung,
para manusia manusia yang sibuk memenuhi hajat hidupnya masing masing,
dan kita yang tersesat diantara kerumunan ramai.
terdistraksi keramaian dari satu panggung ke panggung dagangan yang lain,
berusaha fokus pada tujuan, lalu terbawa arus dan timbul hilang,
sementara rasa sudah disalah artikan sebagai dagangan,
mengikuti arus pasar,
seperti timbang besi yang harus impas antara lalu dan kini,
saat kepala kita dipenuhi logika yang menuntut pembalasan,
agar impas katanya,
mungkin nyeri dada kita menuntut kelegaan yang sama, katanya,
mengikuti arus pasar,
saat sakit kau buat layaknya untung dan rugi,
dan kita yang terlalu lama terombang ambing pasang pasar,
menakar rugi saat sakit yang pernah kita telan tak imbang,
mencari untung rasa seperti barang dagangan.
mungkin kita sudah terlalu jauh,
terbawa,
arus pasar,
dan lupa jalan lengang pulang.



terbawa keramaian pasar, kataku.
terlalu banyak distraksi, katamu.
kita hilang perlahan, katanya.




Jumat, 17 Januari 2014

tanpa judul

kamu hilang dalam keterasingan kata yang entah.

ku lempar kailku dalam-dalam,
menjala ia pada dua matamu;
tapi tak ku temukan kamu meringkuk di situ.