Apa yang paling ditakutkan pemanjat tebing pada dakian adalah apa yang paling diingankan seorang kamu untukku.
Jatuh.
Padahal panjatanku sudah cukup tinggi untuk menemukan tebing layak demi menghabiskan sisa sore kita, tapi kamu masi sibuk menarik tali pengamanku untuk jatuh menujumu.
Entah kamu seperti pelukis yang mendambakam esensi, dan keterjatuhanku seolah titik pusaran segala pencarianmu pada labirinku.
Padahal isap rokok tak disulut pun seharusnya lebih abadi dari apa yang berusaha kamu abadikan pada kita, tanpa harus menimpaku batu batu beban agar jatuh tersimpuh patuh.
Padahal aku sudah cukup menggulung pagi untuk menolak aroma lain selain kamu. Tapi rupanya bekalku tak cukup untuk membebani timbang ragumu, tetap membuatnya berayun lalu menyisa mual yang perih di apa yang kamu bilang rasa.
Lalu apa lagi perihal rasa yang entah semakin jauh hilang dari kosakata yang mudah kita mengerti? Semakin rumit seperti sajak sajak penyair buta huruf yang tak sampai maksudnya.
Dan kita seperti bait menyambung bait beruntun, kadan runtun lalu tak sambung, berulang hingga kita hafal alurnya.
Alur cerita yang gagap menemukan akhir yang pantas, agar tak lagi diretas oleh segala kamu dan ragu ragamu.
Sabtu, 09 November 2013
Lingkar.
Minggu, 27 Oktober 2013
Pertanyaan tanpa jawaban.
Saat langit langit mimpi semakin menjauh dari ketergapaian,
dan dinding berpigura ambisi ambisi kecil mulai meluas,
lalu lantai kayu ini mulai jauh dari keseimbangan,
meninggalkan gadis di atas tempat tidur yang meringkuk goyah di antara lengang.
Ruang ini sesak dengan balon balon mimpi yang ditiupnya sedari kanak,
dan gadis ini mulai kewalahan dan lelah meniup, membenci lengang realita yang berusah dimuntahkan dari mual rutinitas, lalu letih dan mulai tergoda realistis untuk menelan ikhlas,
memecah balonnya satu persatu, mencari maksud dari kebimbangan dan segala yang tak terwujud nyata.
Lalu ruang ini terbelah, separuh lengang dengan balon balon menipis di permukaan lelangit kamar, menyisa tanda tanya besar pada tuhan.
Ada ragu yang tersendat di pusat pikirnya, diantara mimpi yang semakin jauh dan nyata yang begitu dekat dipijak dengan segala getir.
Ada bimbang yang begitu jelas terpantul di matanya, tentang menerima kebencian dan menjalani tantangan mimpi tuhan, dengan sisa separuh akalnya, terperangkap dalam tubuh kebingungan,
melahap segala pertanyaan alam,
tanpa jawaban.
Jumat, 19 Juli 2013
selaras
lalu disusul hitam pupilmu yang menelan pantul maya tak nyata pada apapun di hadapanmu,
dan geming mulutmu yang sebisa mungkin membuat sunyi terisi penuh dengung kekosongan pada telingamu.
ada pilu yang berusaha kau telan mentah mentah, tapi ia masih tersangkut di kerongkonganmu, dan selalu dapat kulihat bayangannya tepat di bawah jakunmu, menolak hilang dalam telan susah payahmu.
ada tenang yang kosong berdesir di nadi pergelanganmu. satu hal yang selalu bisa mengimbangi ramai keluar masuk bayanganmu dalam sel sel otakku.
langit tertidur pulas menunggui kita saling bersandar menceritakan keluh masing masing.
terlalu banyak yang harus kita selaraskan; langkah, genggam, nafas.
sementara waktu terus beradu, memukuli jejak kita yang menipis di setapak belakang.
dan hangat ini berat menyeret langkah kita agar tak terlalu cepat,
meminta memori ditulis lambat lambat,
agar lebih kuat tertambat,
di bongkah dada kita masing masing hingga jauh dari tamat.
Minggu, 14 Juli 2013
hiruk pikuk hidup
sebut ia tuan realita.
berperawakan besar, dengan tangan tangan kurus dan jemari panjang yang siap mencabut tulang belakangmu dengan lantang, hingga mustahil tegak menatap langit kala petang sehabis perang.
ia petarung tanpa ampun.
lalu mimpi adalah sasak tinjunya untuk mengasah balutan otot kekuatanmu.
sejauh mana kita masih mampu menengadahkan tangan dan menatap matahari setelah babak belur dihempaskan nyata.
lalu apa yang membuat kita tetap hidup pada hidup?
serentetan induk mimpi dan tuan nyata yang berkali datang bersamaan,
dengan atau tanpa bergandengan tangan,
Jumat, 28 Juni 2013
mengawasi dalam diam
Kamis, 27 Juni 2013
sandiwara
dihapusnya kutek dan maskara tebal yang menguatkan dustanya; untuk berbicara apapun seingin mulutnya memuntahkan ke-sok-tahuan, di bawah kebenaran supranatural.
ia masukkan bola kristalnya ke dalam kardus di sudut ruang,
pasar malam sudah dikadaluarsai pagi, dan segala ketidak sungguhan sudah penuh diucapkannya semalaman pada beratus tangan tangan menengadah pasrah, meminta dibaca akar urat nasibnya.
ia melepas gulungan rambutnya, membersihkan gincu merah dan segala atributnya.
katak katak di dalam gelas kaca ia lepaskan lagi ke danau di belakang tenda bermukimnya.
kucing hitamnya ia mandikan hingga luntur kelamnya.
ia berbaring tenang, dan berusaha tertidur dari dentang ke dentang jam gantung.
punggungnya bolak balik gelisah.
insomnia di siang bolong.
perutnya keram menahan gelak yang tak berani diumbarnya dalam tawa terbahak.
menertawai mata mata lusuh lapar pengharapan, haus kotoran kotoran terbungkus bijak, dan melolong berkeliling kota dengan dada robek dan mengais segala harapan yang dilemparkan padanya.
berpuluh puluh manusia putus asa yang tersesat ke tenda ramalnya,
membayarnya penuh untuk melempar daging daging bualan busuk ke mulut mereka, dan mereka santap dengan kepala terangkat sekeluar dari itu.
perutnya keram, tapi akting harus terus berjalan,
karena bualan harus ia siapkan dengan semangkuk penawar tawa untuk setiap pelanggan yang berhasil diperdayanya.
---
ia berjalan sendirian diantara kerumunan orang orang yang sibuk merapikan dagangan sisa semalam.
beberapa orang melempar pandangan padanya, yang tak dia balas barang sebuah toleh sekejap.
beberapa lagi berbisik ingin tau dengan lirikan penuh tanda tanya menggantung.
ia mempercepat jalannya, hingga tiba di sebuah gang sempit di ujung kota.
ditukarnya baju lusuh dan segala coreng hitam di bawah mata sayunya.
sambil meneguk minumannya ia bersandar dan merenungi semalam.
sebuah tenda ramal yang menarik perhatiannya berbulan bulan di pasar malam.
dan sebuah malam yang ia sempatkan untuk menjual kepercayaannya pada bola kristal dan tunjukan jari seorang peramal tua pada garis tangannya.
perutnya menahan tawa getir.
peramal tua dengan mata berkerut yang membaca gurat gurat masalahnya, masalah yang ia kumpulkan dalam bual mata layunya.
ditahannya tawanya agar tidak meledak di akhir ia keluar dari tenda tersebut, untuk satu orang yang terperdaya dan susah payah mengurai benang masalah yang ia kusutkan pada cerita cerita kebohongan.
---
dan hidup hanya berjalan layaknya panggung megah berisi pemeran pemeran bertopeng yang menjalankan naskah, saling mengisi butuh dan melumuri badannya dengan bualan setiap harinya, berperan semata mengenyangkan senang antar sesama.
bahagia berkabut tragis, yang menyamarkan tulus di atas segala kepentingan semesta.
Mimpi mimpi karam
Banyak yang tidak diketahui sejumput otak kecil menganga yang masih sibuk menampung maksud langit di keningnya. Tentang pertanyaan pertanyaan tak terjawab tentang mimpi balon udara yang ia lambungkan dan tidak didaratkan tuhan.
Banyak tanya tentang eksistensi mimpi pada telan susahnya pada realita yang tak dijabah nyata.
Ada begitu rekah mimpi di matanya yang ia nina bobokan pada lelap setiap malam, bertahun tahun, pada langit yang sama.
Tentang mimpi yang ia susun dari balok balok harap dan coret berlembar lembar tembok di hadapannya, tentang debar yang begitu gema pada kosong bergelas gelas ingin yang tak penuh penuh.
Katanya, seorang laki laki laut pada senja keberapa yang ia lupa asal temunya, mimpi adalah pengharapan hidup yang menggerakkan sampan hidupmu, lalu letakkan ia sebagai jangkarmu, biarkan jatuh hingga menancap pada ruas dasar laut yang ingin dituju.
Lalu jangkar ini ku berati dengan bergram gram pasir mimpi semalaman, lalu sampan ini terus bergerak ke arah angin yang tak sama, menjangkar pada apa yang tak diucap mimpi pada bermalam malam sebelumnya.
Lalu lautku goyang.
Sampanku mengambang tak mengarah pada utara.
Lalu nelayan ini tersesat pada mimpinya sendiri.
Menumpuk tanya pada adanya tuhan,
pada setiap mimpi tak terjangkar diam.
Rabu, 26 Juni 2013
dari tumpukan tak terambil
sinarnya bahkan tak cukup kuat menarikmu dalam keterjagaan.
aku menyeduh teh di sudut ruang kamarmu, menarik selimutmu dan menyibak gorden lusuh di depanku,
duduk menghadap jendela dengan segelas teh melati, menikmati pagi dengan selembar sajak buatanmu semalam, menggoyangkan kaki merabai mekar mekar bunga matahari di bawah jendelamu.
menamatkan tatapku sebelum kamu terbangun.
sama seperti beratus ratus pagi sebelumnya.
bulan duduk duduk di beranda kamarmu.
tangannya sibuk membolak balik koran tadi pagi, bersiap terjaga menemanimu menulis sajak hingga esok pagi.
aku duduk di sudut gelap ranjangmu, mengamatimu berkutat dengan pena dan lembar kosong di hadapanmu, dengan sebatang kretek yang baru kau nyalakan.
gramaphone tua mendendangkan lagu favorit kita, kakimu tak bergerak sama sekali, barang mengikuti irama nada nada yang kita hapal di luar kepala.
tidak ada ucapan selamat malam,
tidak ada percakapan pembuat malam kita kekal tanpa lelap,
tidak ada tatap seperti malam malam sebelumnya.
matahari tetap benderang di matamu, hanya terlalu silau untuk menangkap bayanganku di seberang.
bulan tetap temaram di matamu, hanya terlalu gelap untuk mendekap bayanganku di belakang.
lalu kamu acuh pada setiap jejak kakiku yang membekas di setiap senti lantai kayu kamarmu.
lalu aku menjelma ilalang di berandamu, jam dinding tua di kamarmu,
melakukan semua kebiasaan kita,
dan menolak lupa pada ratusan hari di belakang kita, sendirian.
katamu aku tak seharusnya jatuh pada kenangan,
katamu kita sudah terlalu jauh untuk sebuah peluk selamat malam,
katamu kita sudah terlalu jauh dibatasi dingin tanah merah,
dan aku yang sudah kau selimuti harum kamboja,
dan kau tidurkan dalam tenang, beserta pemakaman peti peti kenangan,
tak seharusnya kita merayakan yang sudah terkubur rapi,
tak seharusnya kita merayakan kebersamaan semu,
katamu,
pada aku yang sudah terbujur mati dalam ingatanmu.
Sabtu, 15 Juni 2013
mimpi mimpi terbunuh
satu diantaranya tajam merobek lapisan terluar langit kepalaku,
sisanya memukuli tengkorakku hingga lubang,
sebagiannya menerobos masuk menuju labirin labirin otakku, memunguti mimpi, membopongnya keluar, dan membakarnya tepat di depan dua pupil mataku, hingga hangus.
Minggu, 09 Juni 2013
perahu tua yang menolak karam
ibu bulan menangis tersedu melihat kita terombang ambing anak lautan,
sementara badai menerjang kapal dari utara,
mendorong kita mundur pada waktu saling mengasing luka.
kapal kita tak pernah karam tuan,
setidaknya kita selalu berusaha.
kapal kita tidak pernah karam tuan,
setidaknya kita masih dalam gandeng erat kapal reyot ini,
berusaha tidak karam,
dari ombak waktu dan jarak yang semakin melara.
titik hujan dan labirin tak berpintu
kursi tua nyaman yang kau cari dalam sesak pasar malam
seteguk air yang kau cari pada kerontang kemarau
kabar baik yang kau tunggu dari televisi yang mengasapkan berita duka
mungkin aku peta yang tak lelah kau telusuri
mungkin aku jalanan kosong yang tak lelah kau cari ujungnya
tanpa kompas, dan menikmati setiap ketersesatanmu disana
kisah ini labirin rimbun dengan setiap kejutan di persimpangannya
tanpa ketenangan
kisah ini labirin rumit dengan banyak cabang yang kau tak tau akhirnya
tanpa perhentian
kalau kisah ini adalah labirin rimbun,
kalau kisah ini adalah labirin rumit,
maka biarkan aku meminta kisah ini hilang dalam pencarian,
karena pintu keluar hanyalah pemisah,
dan dunia luar terlalu berbahaya bagi kita.
kalau aku adalah petunjuk yang kau cari untuk keluar dari perjalanan ini,
karena lelahmu,
karena ketidak adaan aku dalam sunyi senyap perjalananmu
lihatlah titik hujan yang masih menempel di luar jendela,
dan doaku yang tersangkut dari ribuan itu,
mengawasimu dalam diam,
sampai kau benar benar terpejam,
setiap malam.
Kamis, 30 Mei 2013
Jarak dan Sajak yang Mati Sebelum Dituliskan
Selasa, 07 Mei 2013
tenggelam
sementara jam pasir tidak mau menyumpal kandung kemihnya untuk tidak mengencingi ruang pasir di bawahnya, yang semakin lama semakin menenggelamkan kita.
ketenggelaman terdalam pada palung rasa kita masing masing.
aku mengikat kuat tangan kita yang bergandengan erat-dengan rantai beribu gembok yang kehilangan anak kuncinya.
sementara kaki kita ku pasung pada jangkar yang tunduk gravitasi dan jatuh mencium dasar laut kuat.
aku mengekalkan kita pada selimut laut yang luas dan dalam,
seperti rasa yang menjadi gelombang pasang pada rongga masing masing,
sunyi dasar laut gelap yang terpantul pada pupil kita masing masing,
dingin senyap laut malam yang terraba dari jari jari beku kita masing masing.
Minggu, 28 April 2013
bulan merah jambu
bulan sedang merah jambu di luar, terpantul pada dua matamu.
dua mata yang sedang menatap dalam pada pupilku.
ruangan ini sedang ramai ramainya, sekumpulan orang memasung mata mereka pada layar yang menayangkan pertandingan bola, pelayan mondar mandir, kepul asap rokok, bir tumpah, suara obrolan yang menggema memenuhi langit langit.
kita duduk berhadapan pada sebuah sofa persis di tengah tengah ruang. malam hampir larut, mataku sudah agak mengantuk-tapi ia bengal, tetap memaksa menggelayut pada tatapmu.
bulan sedang merah jambu di luar, terpantul pada dua matamu.
dua mata yang sedang menatap dalam pada pupilku.
bulan merah jambu yang memiliki magnetnya sendiri untuk menolak segala distraksi yang ada di ruangan ini.
kamu masih menyanyikan lagu lagumu,
lagu dengan lirik yang familiar karena sering kamu kirim sebelum dan sebangunku tidur.
lirik lirik yang selalu menggelitik ujung ujung bibirku untuk tersenyum tiap harinya.
katamu aku ide terbaik, dan bagaimana lusinan kupu kupu tidak bergesekan senang pada perutku jika semua lirik itu tentang aku? dan kamu tentunya.
kamu meneruskan nyanyianmu pada bait bait baru. bait bait yang menggantung di garis garis dahiku yang bingung.
lalu gelakku tumpah begitu saja bersamaan dengan air mata kecil pada sudut sudut mataku.
bulan sedang merah jambu di luar, terpantul pada dua matamu.
dua mata yang sedang menatap dalam pada pupilku.
bulan sedang merah jambu tuan, terpantul pada dua matamu.
dua mata yang membuatku ingin jatuh berkali kali dan tenggelam di sana,
hanyut selamanya.
Sabtu, 27 April 2013
tanah lapang dalam kepala
penyair kikir dan puisi terbaik
--
setia merobeki tanggalan, menggilas jarum detik menit,
menyisakan kita yang berusaha mengekalkan senyum dan rasa masing masing.
Kamis, 28 Maret 2013
-
Sabtu, 16 Maret 2013
--
Rabu, 27 Februari 2013
stasiun dan kereta tua
aku kereta tua yang lelah berputar mengelilingi kota,
lelah mengikuti takdir rel rel besi yang mengikatku menuju pertemuan pertemuan kesekian,
kamu tahu,
manusia tak bisa menolak pertemuan,
pun memilih dengan siapa dia diberhentikan.
dan aku lelah berbenti di stasiun stasiun yang salah.
stasiun sepi dengan dinding dinding dingin yang acuh.
kamu tahu,
manusia tak bisa menolak pertemuan.
tapi ia bisa memilih untuk bertahan berlama lama pada satu pemberhentian.
dan dititik ini rel semesta menuntunku untuk berhenti di kamu.
entah stasiun ke berapa yang menjadi tempat singgahku, menaruh lelah dan mengisi hangat.
entah stasiun terakhir atau bukan,
tapi kereta ini berhak memilih untuk singgah lebih lama,
karena tau stasiun ini menunggu dengan tabah dan siap menjadi pengobat lelah.
Sabtu, 23 Februari 2013
gudang
Selasa, 19 Februari 2013
tanpa judul
jangan ragu,
tuhan masih menyimpan skenario terbaik untuk setiap ruam ruam ketidak adilan yang kita pertanyakan, tuan.
Senin, 18 Februari 2013
fase
dari berbagai cerita sepenggal sepenggal tuhan menitipkan pesan, untuk belajar merasa firasat alam dengan lebih peka, menimbang rasa abstrak dengan akal, mengunyah pahit realita tanpa mengernyit dahi, melubangi hati dan memupuk luka sendiri.
dari berbagai cerita sepenggal sepenggal tuhan memberi pelajaran, untuk berteman dengan waktu hingga tahu kapan saat yang tepat untuk berkemas, memungut mimpi dan menyimpan harap pada koper koper penyimpanan. menyudahi perjalanan. belajar melepas dan melupa.
dan saya terlalu sibuk meringkuk dalam sudut gelap cerita.
lupa bahwa tuhan juga mengajarkan membunuh suram, melipat muram, dari lenganmu yang merentang lebar menjadi pengobat.
saya lupa cara menaruh lelah dan memasang binar, setelah lama berjalan, meluka dan mengobat sendiri. lalu serta merta, menolak semburat merah jambu dengan menumpuk selimut selimut ragu, mengubur benih kupu kupu yang mulai menggesek rongga perut kelabu, menyimpan hati hati-hati dalam palung paling tak terjangkau dari yang kamu tau.
dan di fase ini,
satu yang belajar untuk tidak saya lupa, dari berbagai cerita sepenggal sepenggal yang diciptakan tuhan;
untuk berterimakasih pada waktu dan semesta,
dengan menerima segala konspirasi baiknya: yang mewujud kamu.
Sabtu, 16 Februari 2013
-asing-
manusia
saling menjatuhkan diri pada lubang lubang luka dan tenggelam di dalamnya.
menikmati rintih,
menikmati lara,
terus terjatuh,
dan berharap hati membuat imunnya untuk menolak sakit yang sama,
..manusia :)
Selasa, 05 Februari 2013
tanpa judul
karena kaki saya masih sibuk menghindari pecahan nyata,
jangan terburu buru jatuh,
karena tangan saya masih sibuk menghalau realita,
jangan terburu buru jatuh,
karena mata saya masih sibuk memburamkan cerita,
jangan terburu buru jatuh,
saya masih sibuk menikmati semua lara ini, tuan.
Rabu, 23 Januari 2013
'home' sick
seperti suatu senja dan hujan hari itu,
saya benci dan mengutuk diri saya sendiri, ketika harus jatuh lagi pada palung laut matamu, mata yang paling saya hindari pada setiap tatap,
dan segala tumpah ruah memori yang deras menghujan,
tepat setelah saya susah payah membangun tembok tinggi diantara keinginan dan kenyataan.
entah.
mungkin saya butuh lebih banyak hujan,
untuk melunturkanmu, ingatan dan kenangan.
Senin, 21 Januari 2013
{rehat}
tanah lapang
hujan mengguyur terlalu deras belakangan,
dan setapak kakimu masih membekas dalam,
meninggalkan becek bekas larianmu bermain hujan.
kepalaku masih sedikit basah,
persis seperti tanah lapang yang kita lihat sore itu,
tanah lapang dengan sedikit rumput basah karena gerimis semalaman,
meninggalkan dingin dan genangan air mata awan,
mereka; lapangan dan otakku sama sama lengang.
gemamu masih terpantul pantul di bilik kepalaku,
dan setapakmu hanya menunggui hilang ditiup debu,
lalu yang bisa disimpan dari kita hanya setoples kecil kenangan,
kuletakkan mereka di sudut lemari pajangan,
sebagai pelajaran untuk tidak menjatuhkan peluk serampangan, menggantungkan lelahku pada pundakmu sembarangan.
Selasa, 01 Januari 2013
gerimis kecil dan jalan aspal
saya bukan deras hujan yang jatuh menghantam pori keras jalananmu dengan lantang,
lalu menyanyikan kesakitan sepanjang dingin aspal,
berdesakan bersama air lainnya menjadi selimut genangan yang menyesakkan,
dan masuk berebutan ke perutmu melalui lubang dingin gorongan gorongan.
saya gerimis yang menggelantung tua pada awan,
jatuh dengan cemas ke daratan.
memilih jalan termenyenangkan untuk kembali ke lautan.
bukan, saya bukan hujan yang kamu harapkan.
saya gerimis kecil yang lebih suka jatuh perlahan diantara rerumputan,
meski dengan jejak tanah belepotan,
menciptakan petrichor untuk para sajak kesepian.
bukan, saya bukan hujan yang kamu inginkan.
saya gerimis yang lebih suka jatuh menari tengah malam dihangatkan lampu jalanan.
bukan gerimis senja yang memabukkan berpasang pasang para kasmaran.
pun, kamu bukan daratan yang saya ingin sembunyi dalam perutmu bermalam malam,
dinding otakmu terlalu dingin,
saya tak suka berlama lama berlarian di dalamnya,
bahkan untuk sekedar meninggalkan sekeranjang kecup perpisahan.