Langit merah, merekah dan hampir jatuh. Seorang gadis,
merah, berdarah dan sudah terjatuh. Gaunnya kumal. Dadanya tertancap panah.
Senyumnya legit meski gincunya mulai terdesak bulir bulir gerimis dari matanya,
nyaris luntur. Ia terhuyung menyusuri setapak. Tergopoh memasuki desa. Di belakangnya
seorang pemuda mengikuti. Dadanya juga tertancap panah. Senyumnya mengembang
seperti gula kapas. Beberapa kali ia tergelak melewati semak yang memagari
setapak itu, semak dengan bunga berbulu yang sesekali menggelitik pinggangnya yang
terlapis jubah legam. Tangannya tertarik tarik gadis di depannya, jalannya
terlalu lambat dibanding gadis itu, berkali kali ia mengencangkan genggamannya,
dan setiap itu terjadi si gadis menoleh dan melempar senyumnya pada pemuda itu.
Pemuda itu mempererat genggamannya, disusul toleh gadis di depannya, ekor
kudanya bergoyang mengikuti arah lehernya, senyum
itu.. pemuda itu bergegas membuka toples kecil dari sakunya, senyum itu
terbang dan jatuh tepat masuk ke dalam toples kaca itu, menyusul kerumunan
senyum yang sudah lama terkumpul.
Gadis itu acuh, matanya tetap fokus menyusuri setapak, tangannya sebelah masih menggenggam pemuda yang mengekorinya.
Gadis itu acuh, matanya tetap fokus menyusuri setapak, tangannya sebelah masih menggenggam pemuda yang mengekorinya.
Sudah berapa banyak
isi toplesmu?
Nyaris penuh
Butuh berapa toples
untuk menyimpan aku tetap hidup dalam otak dan hatimu?
Sebanyak kamu mau
menungguku, toples ini akan aku simpan dalam sudut kamarku, ku kulum layaknya
kembang gula sebanyak waktu sebelum kita bertemu lagi.
Gerimis turun lagi dari dua bola mata gadis itu. Mulai
mendesak bedak bedak tebal jatuh meluruh tanah. Panah di dadanya terasa semakin
menusuk.
Kalau begitu aku tak
akan tersenyum banyak untukmu, tuan.
Agar kau cepat
kembali.
Pemuda itu terdiam sejenak. Lalu badannya tertarik lagi
mengikuti gerak gadis yang berjalan di hadapannya itu. Gaun putih yang kumal,
dengan bercak lumpur di tepi tepinya. Rambut yang diekor kuda. Kaki yang lecet karna
perjalanan yang tak kunjung bertemu ujung. Senyum yang terus mengembang, sisa
mascara yang meluber dan berjejak hitam di pipinya, seharusnya gadis ini tampak
sedikit menyeramkan, tapi tidak bagi pemuda itu.
Gadis ini menyeka keringatnya. Setapak yang dilaluinya tak
kunjung habis. Ini tandanya masih jauh jalan yang harus dilalui. Tangannya
masih erat menggenggam pemuda di belakangnya. Pemuda dengan jubah legam dan
sepatu berlumpur, bajunya kusut menandai jauhnya perjalanan yang sudah dilalui
bersama gadis ini semenjak pagi. Gadis ini menoleh diam diam pada pemuda
berjubah itu, sementara yang sedang diperhatikan justru sibuk mengamati langit
yang sedang merah merahnya.
Aku suka langit ini.
Gadis itu terkejut dan buru buru mengemas pandangannya untuk
tertuju lagi pada setapak kosong yang memanjang hilang di hadapannya.
Hanya langit memerah
ini yang mengingatkanku bahwa kita masih di bawah atap yang sama, semesta yang
sama, lanjut pemuda itu.
Ada senyum kecil tersimpul malu malu di bibir gadis ini. Ia
mendongakkan kepalanya ke atas.
Hanya di bawah langit
ini, aku merasa kamu menginjak tanah yang sama, aroma rerumput yang sama, deras
hujan yang sama denganku, sejauh apapun aku tak dapat menangkap ragamu.
Pemuda itu mempercepat langkahnya, berlari kecil mendahului
gadis itu. Lalu berdiri mematung tepat di hadapan gadis. Memaksa gadis ini tak
melanjutkan jalannya.
Hingga kemana kita
akan berjalan? Mencari tuan semesta dan menyalahkan keadaan?
Gadis ini terdiam. Gaun yang sedari tadi ditariknya tinggi
tinggi untuk mempercepat langkahnya, ia turunkan perlahan. Tangannya merogoh
sesuatu dari kantung yang sedari tadi tergantung di bahunya. Ia mengeluarkan
bandul jam, dan sebuah peta yang tergambar kasar di atas selembar kulit tua.
Kita akan terus
berjalan. Mencari pengatur semesta dan meminta ia melenyapkan dua benda ini
Si Gadis menyeka gerimis yang mulai merintik lagi di pipinya. Matanya berbinar lebar, menunggu keajaiban datang seperti anak kecil yang tak sabar menunggu kelinci keluar dengan ajaib dari topi tukang sulap yang kosong tadinya.
Si Gadis menyeka gerimis yang mulai merintik lagi di pipinya. Matanya berbinar lebar, menunggu keajaiban datang seperti anak kecil yang tak sabar menunggu kelinci keluar dengan ajaib dari topi tukang sulap yang kosong tadinya.
Kita tak perlu meminta
Tuan semesta melenyapkan ini.
Pemuda ini menarik bandul dan peta kulit itu dari genggaman si gadis, melemparnya jauh menembus langit merekah, hilang tertelan awan keorenan.
Pemuda ini menarik bandul dan peta kulit itu dari genggaman si gadis, melemparnya jauh menembus langit merekah, hilang tertelan awan keorenan.
Gadis ini tertegun, tepat ketika ia akan bersuara pemuda ini
mengeluarkan sejumput senyum dari setoples dan memasangnya di lengkung bibir
gadis ini.
Kita tidak bisa
melenyapkan waktu, dan jarak. Kita hanya perlu sedikit senyum dan tawa lepas
untuk melupakannya, melemparnya jauh untuk tidak mengingatnya lagi.
Pemuda ini menggenggam kedua tangan si gadis.
Tuan semesta tidak
pernah salah. Pada jarak yang menggerus temu kita. Pun pada waktu yang
membuatmu menunggu.
Pemuda ini mengeluarkan toplesnya.
Percayalah. Tidak ada
waktu yang sia tanpa menghidupkanmua dalam otak dan hatiku. Senyummu ini akan ku
seduh, tiap aku rindu pulang dan lelah untuk berjuang, bahwa ada seorang gadis
yang menantiku dibawah langit memerah yang lain, yang sama bergulat dengan
jarak dan waktu.
---
Pemuda itu menyisa kecup di udara.
Langit tetap memerah. Gadis bergaun kumal itu tetap memejam
dan membaui rerumputan. Ia menampung gerimis matanya dalam sebotol bening,
memasukan bau rerumputan, deras hujan, dan langit kemerahan ke dalam botol itu
hingga sesak.
Matanya terbuka. Ia mengeringkan sisa gerimis di pipinya
dengan ujung gaunnya. Maskaranya sudah luntur, gincunya sudah memudar,
senyumnya masih mengembang. Ia mengangkat gaunnya dan berjalan lebih cepat
menyusuri setapak.
Hingga ia berhenti di tepi sebuah laut. Badannya terduduk di
atas pasir. Ia mengeluarkan botol beningnya, lalu menghanyutkannya di gelombang
air.
Untuk tuan yang sedang
berjuang, entah sampai padam matahari yang kapan. Aku mengirimkan sebotol
nostalgia kecil tentang langit merah dan
kita. Saat persediaan toples senyumku sudah menipis, ingatlah ada gadis yang
nyaris menyerah menunggumu diujung sini, menunggu bandul jam dan peta kulit tak
menjadi suram bagi cerita kita.